Hukum Acara PTUN dan Mahkamah Agung
Tata
Cara Pendampingan Hukum dalam Beracara dan Penyelesaian Sengketa di PTUN serta
Uji Materi peraturan dibawah Undang-Undang di Mahkamah Agung
1.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
a. Dasar Hukum
·
UU RI No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
·
UU R1 No. 9
Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
·
UU RI No. 51
Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
·
UU RI No. 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan;
·
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991
b. Deskripsi
Sengketa Tata Usaha Negara merupakan hak uji
atas tindakan administrasi terhadap peraturan perundang-undangan yang
diselenggarakan oleh PTUN. Pasal 1 Angka 10 Undang-undang No. 51 Tahun 2009, Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara menerangkan :
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Subjek
Û
Orang-perorangan
Û
Badan Hukum
(entity)
Dimana
adanya point d’interest atau
kepentingan yang dirugikan oleh karena terbitkan KTUN yang menuntut batal atau
tidak sahnya KTUN dengan atau tanpa ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Objek Gugatan
Objek
gugatan dalam PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
KTUN dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986 dan perubahan kedua pasal 1
angka 9 Undang-undang No. 51 tahun 2009 pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata”;
Dalam Hukum Administrasi Negara KTUN dikenal
sebagai tindakan administrasi yang mana secara praktek ada 2 bentuk tindakan
administrasi yang dapat dijadikan objek sengketa TUN yaitu :
Û
Tindakan
administrasi terikat
Tindakan
yang dilakukan pejabat administrasi yang terikat pada peraturan
perundang-undangan.
Û
Tindakan
administrasi bebas atau diskresi
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan yang diatur dalam
UU No. 30 Tahun 2014 dari pasal 22 s.d 32 UU No. 30 Tahun 2014.
KTUN yang dapat diajukan sebagai objek
sengketa TUN adalah Keputusan yang bersifat “final, individu dan konkrit”.
Untuk menilai lebih lanjut terlebih dahulu kita kenal jenis produk hukum
yakni :
Secara teoritis ada 2 bentuk produk hukum
yaitu keputusan
(beschikking) dengan peraturan (regeling) dimana menurut Jimmly Asshidiqy perbedaannya
adalah:
kuputusan (beschikking) selalu bersifat
individual dan konkret (Individual and Concrete) sedangkan
peraturan (regeling) selalu bersifat
umum dan abstrak (general and abstract)”
dan Maria Farida
Indrati S menyatakan juga :
“Suatu keputusan (beschikking)
bersifat sekali selesai (enmahlig),
sedangkan peraturan (regeling) selalu
berlaku terus-menerus(dauerhaftig)”
Pasal 2 UU No.5 Tahun 1986
dinyatakan yang tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah :
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-undang ini :
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
f.
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia;
g.
Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.
Keputusan (beschikking)
|
Peraturan (regeling)
|
Selalu bersifat individual
and concrete.
|
Selalu bersifat general
and abstract.
|
Pengujiannya melalui
gugatan di peradilan tata usaha negara.
|
Pengujiannya untuk
peraturan di bawah undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Agung,
sedangkan untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.
|
Bersifat sekali-selesai (enmahlig).
|
Selalu berlaku terus-menerus
(dauerhaftig).
|
Pasal 3 UU PTUN dikenal istilah KTUN yang
bersifat fiktif yaitu :
(1) Apabila Pejabat TUN tidak mengeluarkan
keputusan sedangkan hai itu adalah kewajibannya maka hal tersebut disamakan
dengan KTUN;
(2) Apabila Pejabat TUN tidak mengeluarkan KTUN
sedangkanjangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan telah lewat,maka pejabat TUN ttersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud;
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka
setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Pejabat
TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan;
Dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan dalam pasal 87
dikembangkan pemaknaan KTUN adalah sebagai berikut :
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
Û
penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
Û
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
Û
berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
Û
bersifat final dalam arti lebih luas;
Û
Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
Û
Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Dan dalam UU No. 30 Tahun 2014 juga dikembangkan
juga Keputusan dalam bentuk Elektrolis yang diatur dalam pasal 38 yaitu :
(1)
Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk
Elektronis.
(2)
Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan apabila
Keputusan tidak dibuat atau tidak disampaikan secara tertulis.
(3)
Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan
yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang
bersangkutan.
Dalam menilai tindakan administrasi dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dalam pasal 10 UU No.30 Tahun 2014 mengatur
mengenai AUPB dalam menilai tindakan administrasi yaitu :
(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a.
kepastian hukum;
b.
kemanfaatan;
c.
ketidakberpihakan;
d.
kecermatan;
e.
tidak menyalahgunakan kewenangan;
f.
keterbukaan;
g.
kepentingan umum; dan
h.
pelayanan yang baik.
(2) Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang
tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Tenggang
waktu
Pasal 55 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No.9 Tahun 2004 dan perubahan kedua
Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
berbunyi:
“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara”;
Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 1992 menyebutkan
dengan tegas mengenai tenggang waktu tersebut, yakni:
1.
Perhitungan Tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55 Undang-undang No.9
Tahun 2004 dan perubahan kedua Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, terhenti/ ditunda
(geschorst) pada waktu gugatan didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang;
2.
Sehubungan dengan Pasal 62 ayat (6) dan Pasal 63 (4) Undang-undang No.9
Tahun 2004, maka gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa waktu sebagaimana
dimaksud pada butir 1;
3.
Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu KTUN tetapi yang merasa
kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebgaimana dimaksud dalam pasal 55
dihitung secara kusuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh
KTUN dan mengetahui adanya keputusan tersebut;
Apabila keputusan bersifat fiktif maka
tenggang waktu mengajukan gugatan dilakukan dengan cara :
a.
Tenggang
waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan sebagaimana
ditentukan dalam peraturan dasarnya;
b.
Tenggang
waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 bulan sejak tanggal diterimanya
permohonan;
Gugatan
1.
Syarat
Formil Gugatan
Gugatan harus memuat identitas
Penggugat, Tergugat dan Kuasa Hukum.
2.
Syarat
Materil Gugatan
Gugatan
harus memuat :
Û
Dasar
Gugatan (posita)
Û
Tuntutan
(petitum)
Prosedur Dissmisal
Setelah gugatan masuk ke Paniteraan PTUN dan
dilakukan penilaian administrasi gugatan maka dalam dilanjutkan pada proses
dismissal sebagai diatur dalam SEMA RI No. 2 Tahun 1991 mengatur mekanisme
sebagai berikut :
a.
Prosedur
dismissal dilakukan oleh ketua dan dapat menunjuk reporter;
b.
Pemeriksaan
dilakukan dalam rapat musyawarah atau dilaksanakan secara singkat;
c.
Ketua
pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak
sebelum dilakukan penetapan dismissal
apabila diperlukan;
d.
Penetapan
dismissal berisi gugatan dinyatakan diterima, tidak dapat diterima atau tidak
berdasar ditandatangani oleh ketua dan panitera;
e.
Penetapan
dismissal diucapkan dalam rapat permusyaratan, sebelum hari persidangan
ditentukan dengan memanggil para pihak untuk mendengarkannya;
Apabila
Hakim Ketua berpandangan Gugatan harus diperbaiki maka selama Jangka Waktu 30
hari Penggugat harus memperbaiki gugatannya dan apabila lewat jangka waktu maka
gugatan diyatakan tidak dapat diterima.
Proses
persidangan :
Û
Gugatan
Û
Jawaban atau
Eksepsi
Û
Replik dari
Penggugat
Û
Duplik dari
Tergugat
Û
Pembuktian
Sistem Pembuktian dalam TUN dikarenakan Hakim
bersifat aktif dalam menemukan kebenaran materil (sebagaimana pasal 63, 80, 85,
95 dan 103 UU PTUN) maka system pembuktian adalah pembuktian yang bebas
terbatas dimana pada pasal 100 Alat Bukti yang digunakan adalah :
Ø Surat
Ø Keterangan Saksi
Ø Keterangan Ahli
Ø Keterangan para Pihak
Ø Pengetahuan Hakim
Û
Kesimpulan
dari Penggugat dan Tergugat
Û
Putusan
Bentuk putusan atas penyelesaian sengketa di
PTUN
Û
Gugatan Dikabulkan
(seluruh dan Sebagian)
Ø Pencabutan KTUN bersangkutan;
Ø Pencabutan Keputusan dan menerbitkan KTUN
yang baru;
Ø Penerbitan KTUN yang baru didasarkan pada
pasal 3 UU PTUN;
Ø Pembebanan Ganti Rugi;
Ø Rehabilitasi;
Û
Gugatan Ditolak
Û
Gugatan
gugur
Û
Gugatan Tidak
dapat diterima
Notes :
Ø Dalam pasal 67 UU PTUN dijelaskan bahwa gugatan
yang diajukan terhadap objek perkara tidak menghalangi berlakunya objek perkara
TUN sebagaimana asas praduga rechtmatig yaitu “Asas praduga rechtmatig (vermoeden vab rechtmatigheid, praesumptio iustae
causa). Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig
sampai adanya pembatalan”;
Ø Dalam mengajukan gugatan TUN dikenal pihak
ketiga atau intervensi dalam beracara yang bertindak sebagai :
·
Pihak ketiga
yang membela haknya atas perkara sendiri, yang dibedakan :
Û
Pihak ketiga
yang tidak berpihak pada salah satu pihak;
Û
Pihak ketiga
yang dengan kemauan sendiri masuk dalam perkara dan kepentingannya pararel
dengan salah satu pihak maka akan bergabung dengan salah satu pihak;
·
Masuknya
pihak ketiga atas prakarsa salah satu pihak apabila perkara yang sedang
berjalan para pihak merasa berkepentingan menarik salah satu pihak agar
menjamin/mendukung kepentingannya;
·
Masuknya
pihak ketiga atas prakarsa hakim baik dalam pemeriksaan perkara ataupun
dismissal;
2. Mahkamah
Agung
a.
Dasar Hukum
·
Pasal 24A
UUD RI 1945
·
TAP MPR RI
No. III/1978
·
UU RI No. 14
Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
·
UU RI No. 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung;
·
UU RI No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
·
UU RI No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
·
UU RI No. 12
Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
·
PERMA RI No.
1 Tahun 1999;
·
PERMA RI No.
1 Tahun 2004;
·
PERMA RI No.
1 Tahun 2011;
b. Deskripsi
Pengujian
materi peraturan dibawah UU terhadap UU di Mahkamah Agung merupakan suatu
prosedur judicial review. Dalam
perkembangan ketatanegaraan Indonesia judicial review ini dikenal pada
tahun 1970 dimana diterbitkannya UU RI
No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur wewenang Mahkamah
Agung dalam menguji Materi Peraturan di bawah UU terhadap UU. Selain itu juga
diperkuat adanya TAP MPR RI No. III/1978 yang menguatkan wewenang uji materi
peraturan dibawah UU terhadap UU di Mahkamah Agung.
Secara
historis judicial review ini telah
dikenal oleh founding fathers dalam
rapat BPUPKI dimana M. Yamin menyampaikan perlunya ada mekanisme pengujian
peraturan di lembaga yudikatif. Namun founding
fathers saat itu menilai untuk tidak menerapkan dikarenakan banyaknya
alasan politis dan kurangnya pakar hukum saat itu.
Secara
teoritis judicial review, Indonesia
yang merupakan hukum sebagaimana pasal 1 ayat (3) UUD 1945 haruslah menjamin
hak warga negaranya. Jimmly Asshidiqie berpendapat “Negara hukum adalah Negara
yang mampu menjamin hak warga negaranya”. Oleh karena itu judicial review ini dimaksudkan dalam mnjamin hak warga Negara
dalam penyelenggaraan Negara atas diterbitkannya peraturan. Kemudian secara check and balances system tata Negara
Indonesia terselenggara dengan baik. Sebagaimana asas Lex Superior derograt Lex Impriori yaitu peraturan lebih tinggi
mengesampingkan peraturan lebih rendah.
Pengujian
materi (toetsingrecht) di Mahkamah
Agung merupakan suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu
peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak terhadap peraturan perundang-undangan
lebih tinggi. Sebelum masuk lebih lanjut, kita harus memahami kedudukan
peraturan perundang-undangan dalam tatanan Hirarki yaitu sebagaimana dalam
pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 2011 yaitu:
Û
Undang-Undang
Dasar RI 1945
Û
TAP MPR RI
Û
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Û
Peraturan
Pemerintah
Û
Peraturan
Presiden
Û
Peraturan
Daerah tingkat Provinsi
Û
Peraturan
Daerah tingkat Kabupaten/Kota
Selain
itu dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, diakui pula jenis peraturan perundang-undangan
lain yakni peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan Perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
A. Mukti Arto yang mengartikan wewenang menguji materiil MA ini
adalah untuk menentukan apakah suatu aturan hukum yang dibuat oleh lembaga
negara itu:
Û
Tidak
melampaui wewenang yang diberikan oleh suatu lembaga kepada lembaga tersebut,
Û
Sudah logis
dan bermanfaat sehingga secara moral dapat dipertanggungjawabkan.
Û
Tidak
bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi derajatnya.
Û
Tidak
melanggar asas-asas pembentukan aturan hukum yang patut, atau
Û
Tidak
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL).
Untuk
menindaklanjuti ketentuan Pasal 31A ayat (7) UU MA, maka MA menetapkan
Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil yang selanjutnya Perma
No. 1 Tahun 2004 digantikan dengan Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Hak Uji Materiil sehingga dalam mengajukan permohonan uji materi melalui
mekanisme :
Û
Tidak ada
lagi pengaturan tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak peraturan
perundang-undangan yang diajukan keberatan ditetapkan. Pada intinya, penentuan
tenggang waktu tersebut dianggap tidak tepat diterapkan untuk sesuatu aturan
yang bersifat umum (regelend).
Û
Permohonan judicial
review ke MA diatur dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan.
Dalam Perma 1 tahun 2011, Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang
berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang
diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
yang diajukan ke MA untuk mendapatkan putusan;
Û
Permohonan
keberatan diajukan kepada MA dengan cara langsung ke MA atau melalui Pengadilan
Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon;
Û
Pemohon
membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang
besarnya akan diatur tersendiri
Û
Penetapan
Majelis Hakim Agung yang menangani permohonan keberatan dilakukan oleh Ketua
Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua MA;
Û
Majelis
Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan dengan menerapkan
ketentuan hukum yang berlaku dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan;
Û
Putusan
tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali;
Û
Terkait
dengan pelaksanaan putusan, jika dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari
sejak putusan diucapkan pejabat pembuat peraturan perundang-undangan tidak
melaksanakan kewajiban untuk mematuhui putusan, maka peraturan
perundang-undangan dimaksud tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lebih
lanjut, Pasal 31A mengatur mekanisme sebagai berikut :
(1) Permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah
Agung, dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
(2) Permohonan
sekurang-kurangnya harus memuat:
Û
nama dan alamat pemohon;
Û
uraian mengenai perihal yang
menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
Û
hal-hal yang diminta untuk
diputus.
·
materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
·
pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Dalam hal
Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi
syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima;
(4) Dalam hal
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan;
(5) Dalam hal
permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), amar putusan
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi;
(6) Dalam hal
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam
pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak;
(7) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung.
Selanjutnya,
berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UU 4 Tahun 2004, mengenai kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
ditegaskan bahwa pernyataan tidak
berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian
dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Asas-Asas
Hukum Acara pengujian Peraturan Perundang-Undangan antara lain:
Û
Ius Curia Novit (Hakim tidak
boleh menolak perkara dengan dalih tidak ada hukumnya);
Û
Persidangan Terbuka untuk Umum;
Û
Independen dan Imparsial;
Û
Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan;
Û
Audi Et Alteram Partem (Hak didengar
secara seimbang);
Û
Hakim Aktif dalam Persidangan;
Û
Presumtio Iustae Causa (Praduga
Keabsahan).
Bentuk
putusan atas uji materi peraturan terhadap UU di Mahkamah Agung :
Û
Dikabulkan
Û
Ditolak
Û
Tidak
diterima
Dalam
UU MA, ketentuan Pasal 31 menyatakan sebagai berikut :
·
Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang;
·
Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
·
Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
·
Peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
·
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Notes
:
Ø Peraturan yang diuji materi kepada MA dimana
UU yang menjadi acuan uji materi juga diuji materinya kepada UUD oleh MK maka
pengujian peraturan tersebut haruslah dihentikan;
Ø
Kewenangan
pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU dilakukan Mahkamah Agung sebagai
tugas Mahkamah Agung dalam mengawal UU.
Ø Putusan atas uji materi peraturan dibawah UU
terhadap UU tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali;
3.
Referensi
Arto A Mukti, Konsepsi Ideal MA, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997 .
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha, Buku
I : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta 1993.
I Gede Dewa Palguna, Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint), Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
E. Uthrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Bandung, 1983.
Phillipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah
Mada University, Yogyakarta, 2005.
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi,
Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007.
Komentar