Hukum Acara PTUN dan Mahkamah Agung



Tata Cara Pendampingan Hukum dalam Beracara dan Penyelesaian Sengketa di PTUN serta Uji Materi peraturan dibawah Undang-Undang di Mahkamah Agung

1.      Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
a.       Dasar Hukum
·         UU RI No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
·         UU R1 No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
·         UU RI No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
·         UU RI No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan;
·         Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991

b.     Deskripsi
Sengketa Tata Usaha Negara merupakan hak uji atas tindakan administrasi terhadap peraturan perundang-undangan yang diselenggarakan oleh PTUN. Pasal 1 Angka 10 Undang-undang No. 51 Tahun 2009, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menerangkan :
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Subjek
Û    Orang-perorangan
Û    Badan Hukum (entity)
Dimana adanya point d’interest atau kepentingan yang dirugikan oleh karena terbitkan KTUN yang menuntut batal atau tidak sahnya KTUN dengan atau tanpa ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Objek Gugatan
Objek gugatan dalam PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
 KTUN dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986 dan perubahan kedua pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 51 tahun 2009 pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”;
Dalam Hukum Administrasi Negara KTUN dikenal sebagai tindakan administrasi yang mana secara praktek ada 2 bentuk tindakan administrasi yang dapat dijadikan objek sengketa TUN yaitu :
Û    Tindakan administrasi terikat
Tindakan yang dilakukan pejabat administrasi yang terikat pada peraturan perundang-undangan.
Û    Tindakan administrasi bebas atau diskresi
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 dari pasal 22 s.d 32 UU No. 30 Tahun 2014.
KTUN yang dapat diajukan sebagai objek sengketa TUN adalah Keputusan yang bersifat “final, individu dan konkrit”.  Untuk menilai lebih lanjut terlebih dahulu kita kenal jenis produk hukum yakni :
Secara teoritis ada 2 bentuk produk hukum yaitu keputusan (beschikking) dengan peraturan (regeling) dimana menurut Jimmly Asshidiqy perbedaannya adalah:
kuputusan (beschikking) selalu bersifat individual  dan konkret (Individual and Concrete) sedangkan peraturan (regeling) selalu bersifat umum dan abstrak (general and abstract)”
dan Maria Farida Indrati S menyatakan juga :
“Suatu keputusan (beschikking) bersifat sekali selesai (enmahlig), sedangkan peraturan (regeling) selalu berlaku terus-menerus(dauerhaftig)”
Pasal 2 UU No.5 Tahun 1986 dinyatakan yang tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah :
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini :
a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c.       Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.        Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
g.       Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Keputusan (beschikking)
Peraturan (regeling)
Selalu bersifat individual and concrete.
Selalu bersifat general and abstract.
Pengujiannya melalui gugatan  di peradilan tata usaha negara.
Pengujiannya untuk peraturan di bawah undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Agung, sedangkan untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Bersifat sekali-selesai (enmahlig).
Selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).







Pasal 3 UU PTUN dikenal istilah KTUN yang bersifat fiktif yaitu :
(1)  Apabila Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hai itu adalah kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan KTUN;
(2)  Apabila Pejabat TUN tidak mengeluarkan KTUN sedangkanjangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan telah lewat,maka pejabat TUN ttersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud;
(3)  Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan;
Dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dalam pasal  87 dikembangkan pemaknaan KTUN adalah sebagai berikut :
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
Û    penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
Û    Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
Û    berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
Û    bersifat final dalam arti lebih luas;
Û    Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
Û    Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Dan dalam UU No. 30 Tahun 2014 juga dikembangkan juga Keputusan dalam bentuk Elektrolis yang diatur dalam pasal 38 yaitu :
(1)     Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis.
(2)     Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan apabila Keputusan tidak dibuat atau tidak disampaikan secara tertulis.
(3)     Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan.
Dalam menilai tindakan administrasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dalam pasal 10 UU No.30 Tahun 2014 mengatur mengenai AUPB dalam menilai tindakan administrasi yaitu :
(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a.       kepastian hukum;
b.       kemanfaatan;
c.       ketidakberpihakan;
d.       kecermatan;
e.       tidak menyalahgunakan kewenangan;
f.        keterbukaan;
g.       kepentingan umum; dan
h.       pelayanan yang baik.
(2) Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu
Pasal 55  Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.9 Tahun 2004 dan perubahan kedua Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:
“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”;
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1992 menyebutkan dengan tegas mengenai tenggang waktu tersebut, yakni:
1.       Perhitungan Tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55 Undang-undang No.9 Tahun 2004 dan perubahan kedua Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, terhenti/ ditunda (geschorst) pada waktu gugatan didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang;
2.       Sehubungan dengan Pasal 62 ayat (6) dan Pasal 63 (4) Undang-undang No.9 Tahun 2004, maka gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa waktu sebagaimana dimaksud pada butir 1;
3.       Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu KTUN tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebgaimana dimaksud dalam pasal 55 dihitung secara kusuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya keputusan tersebut;
Apabila keputusan bersifat fiktif maka tenggang waktu mengajukan gugatan dilakukan dengan cara :
a.       Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya;
b.       Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 bulan sejak tanggal diterimanya permohonan;
Gugatan
1.       Syarat Formil Gugatan
Gugatan harus memuat identitas Penggugat, Tergugat dan Kuasa Hukum.
2.       Syarat Materil Gugatan
Gugatan harus memuat :
Û    Dasar Gugatan (posita)
Û    Tuntutan (petitum)
Prosedur Dissmisal
Setelah gugatan masuk ke Paniteraan PTUN dan dilakukan penilaian administrasi gugatan maka dalam dilanjutkan pada proses dismissal sebagai diatur dalam SEMA RI No. 2 Tahun 1991 mengatur mekanisme sebagai berikut :
a.       Prosedur dismissal dilakukan oleh ketua dan dapat menunjuk reporter;
b.       Pemeriksaan dilakukan dalam rapat musyawarah atau dilaksanakan secara singkat;
c.       Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum  dilakukan penetapan dismissal apabila diperlukan;
d.       Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan diterima, tidak dapat diterima atau tidak berdasar ditandatangani oleh ketua dan panitera;
e.       Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyaratan, sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil para pihak untuk mendengarkannya;
Apabila Hakim Ketua berpandangan Gugatan harus diperbaiki maka selama Jangka Waktu 30 hari Penggugat harus memperbaiki gugatannya dan apabila lewat jangka waktu maka gugatan diyatakan tidak dapat diterima.
Proses persidangan :
Û    Gugatan
Û    Jawaban atau Eksepsi
Û    Replik dari Penggugat
Û    Duplik dari Tergugat
Û    Pembuktian
Sistem Pembuktian dalam TUN dikarenakan Hakim bersifat aktif dalam menemukan kebenaran materil (sebagaimana pasal 63, 80, 85, 95 dan 103 UU PTUN) maka system pembuktian adalah pembuktian yang bebas terbatas dimana pada pasal 100 Alat Bukti yang digunakan adalah :
Ø  Surat
Ø  Keterangan Saksi
Ø  Keterangan Ahli
Ø  Keterangan para Pihak
Ø  Pengetahuan Hakim
Û    Kesimpulan dari Penggugat dan Tergugat
Û    Putusan
Bentuk putusan atas penyelesaian sengketa di PTUN
Û    Gugatan Dikabulkan (seluruh dan Sebagian)
Ø  Pencabutan KTUN bersangkutan;
Ø  Pencabutan Keputusan dan menerbitkan KTUN yang baru;
Ø  Penerbitan KTUN yang baru didasarkan pada pasal 3 UU PTUN;
Ø  Pembebanan Ganti Rugi;
Ø  Rehabilitasi;
Û    Gugatan Ditolak
Û    Gugatan gugur
Û    Gugatan Tidak dapat diterima
Notes :
Ø  Dalam pasal 67 UU PTUN dijelaskan bahwa gugatan yang diajukan terhadap objek perkara tidak menghalangi berlakunya objek perkara TUN sebagaimana asas praduga rechtmatig yaitu “Asas praduga rechtmatig (vermoeden vab rechtmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig sampai adanya pembatalan”;
Ø  Dalam mengajukan gugatan TUN dikenal pihak ketiga atau intervensi dalam beracara yang bertindak sebagai :
·         Pihak ketiga yang membela haknya atas perkara sendiri, yang dibedakan :
Û    Pihak ketiga yang tidak berpihak pada salah satu pihak;
Û    Pihak ketiga yang dengan kemauan sendiri masuk dalam perkara dan kepentingannya pararel dengan salah satu pihak maka akan bergabung dengan salah satu pihak;
·         Masuknya pihak ketiga atas prakarsa salah satu pihak apabila perkara yang sedang berjalan para pihak merasa berkepentingan menarik salah satu pihak agar menjamin/mendukung kepentingannya;
·         Masuknya pihak ketiga atas prakarsa hakim baik dalam pemeriksaan perkara ataupun dismissal;

2.     Mahkamah Agung
a.      Dasar Hukum
·         Pasal 24A UUD RI 1945
·         TAP MPR RI No. III/1978
·         UU RI No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
·         UU RI No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung;
·         UU RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
·         UU RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
·         UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
·         PERMA RI No. 1 Tahun 1999;
·         PERMA RI No. 1 Tahun 2004;
·         PERMA RI No. 1 Tahun 2011;

b.     Deskripsi
Pengujian materi peraturan dibawah UU terhadap UU di Mahkamah Agung merupakan suatu prosedur judicial review. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia  judicial review ini dikenal pada tahun  1970 dimana diterbitkannya UU RI No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur wewenang Mahkamah Agung dalam menguji Materi Peraturan di bawah UU terhadap UU. Selain itu juga diperkuat adanya TAP MPR RI No. III/1978 yang menguatkan wewenang uji materi peraturan dibawah UU terhadap UU di Mahkamah Agung.
Secara historis judicial review ini telah dikenal oleh founding fathers dalam rapat BPUPKI dimana M. Yamin menyampaikan perlunya ada mekanisme pengujian peraturan di lembaga yudikatif. Namun founding fathers saat itu menilai untuk tidak menerapkan dikarenakan banyaknya alasan politis dan kurangnya pakar hukum saat itu.
Secara teoritis judicial review, Indonesia yang merupakan hukum sebagaimana pasal 1 ayat (3) UUD 1945 haruslah menjamin hak warga negaranya. Jimmly Asshidiqie berpendapat “Negara hukum adalah Negara yang mampu menjamin hak warga negaranya”. Oleh karena itu judicial review ini dimaksudkan dalam mnjamin hak warga Negara dalam penyelenggaraan Negara atas diterbitkannya peraturan. Kemudian secara check and balances system tata Negara Indonesia terselenggara dengan baik. Sebagaimana asas Lex Superior derograt Lex Impriori yaitu peraturan lebih tinggi mengesampingkan peraturan lebih rendah.
 Pengujian materi (toetsingrecht) di Mahkamah Agung merupakan suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Sebelum masuk lebih lanjut, kita harus memahami kedudukan peraturan perundang-undangan dalam tatanan Hirarki yaitu sebagaimana dalam pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 2011 yaitu:
Û    Undang-Undang Dasar RI 1945
Û    TAP MPR RI
Û    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Û    Peraturan Pemerintah
Û    Peraturan Presiden
Û    Peraturan Daerah tingkat Provinsi
Û    Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota
Selain itu dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, diakui pula jenis peraturan perundang-undangan lain yakni peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
A. Mukti Arto yang mengartikan wewenang menguji materiil MA ini adalah untuk menentukan apakah suatu aturan hukum yang dibuat oleh lembaga negara itu:
Û    Tidak melampaui wewenang yang diberikan oleh suatu lembaga kepada lembaga tersebut,
Û    Sudah logis dan bermanfaat sehingga secara moral dapat dipertanggungjawabkan.
Û    Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi derajatnya.
Û    Tidak melanggar asas-asas pembentukan aturan hukum yang patut, atau
Û    Tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL).
Untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 31A ayat (7) UU MA, maka MA menetapkan Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil yang selanjutnya Perma No. 1 Tahun 2004 digantikan dengan Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil sehingga dalam mengajukan permohonan uji materi melalui mekanisme :
Û      Tidak ada lagi pengaturan tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak peraturan perundang-undangan yang diajukan keberatan ditetapkan. Pada intinya, penentuan tenggang waktu tersebut dianggap tidak tepat diterapkan untuk sesuatu aturan yang bersifat umum (regelend).
Û      Permohonan judicial review ke MA diatur dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan. Dalam Perma 1 tahun 2011, Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang diajukan ke MA untuk mendapatkan putusan;
Û      Permohonan keberatan diajukan kepada MA dengan cara langsung ke MA atau melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon;
Û      Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri
Û      Penetapan Majelis Hakim Agung yang menangani permohonan keberatan dilakukan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua MA;
Û      Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan;
Û      Putusan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali;
Û      Terkait dengan pelaksanaan putusan, jika dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan diucapkan pejabat pembuat peraturan perundang-undangan tidak melaksanakan kewajiban untuk mematuhui putusan, maka peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lebih lanjut, Pasal 31A mengatur mekanisme sebagai berikut :
(1)  Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
(2)  Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
Û    nama dan alamat pemohon;
Û    uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
Û    hal-hal yang diminta untuk diputus.
·         materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
·         pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3)  Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima;
(4)  Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan;
(5)  Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
(6)  Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak;
(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UU 4 Tahun 2004, mengenai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ditegaskan bahwa pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Asas-Asas Hukum Acara pengujian Peraturan Perundang-Undangan antara lain:
Û          Ius Curia Novit (Hakim tidak boleh menolak perkara dengan dalih tidak ada hukumnya);
Û          Persidangan Terbuka untuk Umum;
Û          Independen dan Imparsial;
Û          Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan;
Û          Audi Et Alteram Partem (Hak didengar secara seimbang);
Û          Hakim Aktif dalam Persidangan;
Û          Presumtio Iustae Causa (Praduga Keabsahan).
Bentuk putusan atas uji materi peraturan terhadap UU di Mahkamah Agung :
Û          Dikabulkan
Û          Ditolak
Û          Tidak diterima
Dalam UU MA, ketentuan Pasal 31 menyatakan sebagai berikut :
·         Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
·         Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
·         Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
·         Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
·         Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
        Notes : 
Ø  Peraturan yang diuji materi kepada MA dimana UU yang menjadi acuan uji materi juga diuji materinya kepada UUD oleh MK maka pengujian peraturan tersebut haruslah dihentikan;
Ø  Kewenangan pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU dilakukan Mahkamah Agung sebagai tugas Mahkamah Agung dalam mengawal UU.
Ø  Putusan atas uji materi peraturan dibawah UU terhadap UU tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali;

3.           Referensi
Arto A Mukti, Konsepsi Ideal MA, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997 .
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha, Buku I : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1993.
I Gede Dewa Palguna, Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint), Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
E. Uthrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Bandung, 1983.
Phillipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University, Yogyakarta, 2005.
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi, Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perizinan Developer Perumahan

Kaitan Penghidupan yang Layak dengan Penetapan Upah

Sekilas Hukum Pertambangan