Pengertian Hak Konstitusional Warga Negara
Dalam mencapai cita-cita bernegara salah satu substansi
yang dimuat dalam konstitusi negara adalah pengaturan terkait Hak Asasi Manusia
(human right).
Negara yang menganut sisterm rule of law,
salah satu unsur yang mutlak harus ada
adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights).[1] Hak dasar yang dimuat itu sebagai bentuk pengakuan
negara serta sebagai bentuk jaminan perlidungan negara atas hak dasar warga
negara, sehingga hak tersebut terlegitimasi secara hukum. Konsekuensi
akan hal ini adalah setiap bentuk kebijakan serta peraturan perundang-undangan
yang diberlakukan tidak boleh melanggar atau meniadakan hak-hak dasar tersebut.
Perkembangan ketatanegaraan modern mengenal hak
dasar yang dituangkan dalam konstitusi tersebut sebagai hak konstitusional.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, Hak konstitusional merupakan hak-hak yang
dijamin dalam dan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.[2]
Penjaminan hak tersebut baik dinyatakan secara tegas
maupun secara tersirat. Hak ini merupakan
bentuk perlindungan hukum dari perbuatan yang dimungkinkan dilakukan oleh
pemegang kekuasaan penyelenggara Negara dalam hubungan negara dan warga negara.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menyatakan :
“Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”[3]
Menunjukkan
bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, dapat diartikan bahwa wujud demokrasi dalam
penyelenggaraan negara
tidak terbatas pada penentuan siapa yang duduk dalam kekuasaan negara melalui hak pilih
rakyat yang menjadi hak konstitusional warga negara namun juga hak-hak yang diatur
dalam konstitusi baik hak asasi maupun hak warga negara yang tidak dilanggar dan diabaikan
oleh penyelenggara negara. Oleh karena itu, seluruh cabang kekuasaan negara wajib
melindungi dan menghormatinya.
Hak konstitusional terkait pula akan
pengakuan negara atas subjek dari hak konstitusional yakni warga negara. dalam
hal warga negara, mereke ialah orang yang diakui secara hukum serta disahkan
oleh undang-undang sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu, ia
mempunyai hak yang sama dalam hal apapun sebagai warga negara Indonesia.
Pengecualaian akan hal ini dalam kedudukan pencalonan Presiden sesuai rumusan Pasal
6 Undang-Undang Dasar 1945 yakni:
“Calon
Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak
sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Dari
penjelasan diatas bahwa hak konstitusional berkaitan dengan hak warga negara.
Hak warga negara merupakan hak yang diberikan negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan oleh karena ia merupakan warga negara. oleh karena itu,
status kewarganegaraan warga negara menjadi tolak ukur dalam pemberian hak
warga negara.
Hak warga negara itu terdiri atas hak konstitusional dan
hak legal. Hak legal ialah hak yang diberikan kepada warga negara oleh peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar 1945. Hak konstitusional
merupakan hak yang diberikan kepada warga negara dan dijamin oleh konstitusi
negara yakni Undang-Undang Dasar 1945.
Hak konstitusional dapat dilihat sebagai timbal balik atas
kewajiban konstitusional sehingga hak konstitusional dan kewajiban
konstitusional tidak dapat dipisahkan, dimana dapat dijelaskan bahwa adanya hak
konstitusional dikarenakan adanya kewajiban konstitusional yang dilahirkan oleh UUD 1945. Kewajiban
konstitusional merupakan konsekuensi warga negara dalam kedudukannya sebagai
warga negara dalam melaksanakan tindakan yang diwajibkan oleh negara. Misalnya
kewajiban Negara untuk mengalokasi dana pendidikan 20 % dari APBN, serta
kewajiban untuk belajar, semua melahirkan hak konstitusional bagi warga Negara,
terhadap siapa Negara bekerja, serta yang menjadi tujuan Negara itu sendiri.
[1] Jimly
Asshiddiqie, Loc. cit, hlm. 343.
[2] http://elsiusaragae.blogspot.com diakses tgl. 16 maret 2015.
[3] Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945, Pasal I ayat (3).
Komentar