Keputusan Menteri No. 78 Tahun 2001 Tentang Pesangon
Sharing Hukum
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR : KEP-78 /MEN/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
BEBERAPA PASAL
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP-150/MEN/2000 TENTANG
PENYELESAIAN PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA DAN PENETAPAN UANG PESANGON,
UANG PENGHARGAAN MASA KERJA, DAN
GANTI KERUGIAN
DI PERUSAHAAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
|
||||
Menimbang :
|
a. bahwa dalam
pelaksanaannya beberapa pasal dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan
Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti
Kerugian di Perusahaan memerlukan penyempurnaan sehingga beberapa pasal
Keputusan Menteri Tenaga Republik Indonesia Nomor KEP- 150/MEN/2000 perlu
diubah;
b. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia;
|
|||
Mengingat :
|
1. Undang-undang Nomor
22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227);
2. Undang-undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang. Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2686);
3. Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 234/M Tahun 2000;
4. Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja, dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa
Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan;
|
|||
Memperhatikan :
|
Hasil Sidang Kabinet Paripurna
tanggal 25 Januari 2001;
|
|||
MEMUTUSKAN :
|
||||
Menetapkan :
|
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS BEBERAPA PASAL
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
KEP-150/MEN/2000 TENTANG PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
DAN PENETAPAN UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA, DAN GANTI KERUGIAN
DI PERUSAHAAN.
|
|||
Pasal II
|
||||
Beberapa ketentuan dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti.Kerugian di Perusahaan, diubah menjadi
sebagai berikut:
|
||||
1.
|
Penulisan dan penyebutan istilah
"pekerja" diubah menjadi "pekerja/buruh", istilah
"serikat pekerja" diubah menjadi "serikat pekerja/serikat
buruh", istilah "terdaftar" diubah menjadi
"tercatat", istilah "Menteri Tenaga Kerja" diubah menjadi
"Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi", istilah "Departemen
Tenaga Kerja" diubah menjadi "Kantor instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan", istilah "Kantor Wilayah
Departemen Tenaga Kerja" diubah menjadi "Kantor Instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Proponsi", istilah
"Kantor Departemen Tenaga Kerja" diubah menjadi "Kantor
Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota", dan istilah "kesepakatan kerja bersama"
diubah menjadi "perjanjian kerja bersama".
|
|||
2.
|
Ketentuan Pasal 1 setelah
disempurnakan selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 1
|
||||
|
Dalam Keputusan Menteri ini yang
dimaksud dengan :
|
|||
|
1.
|
Perusahaan adalah :
|
||
|
|
a. setiap bentuk usaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak;
atau
b. usaha-usaha sosial
dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyal
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, kecuali
usaha-usaha sosial yang pembiyaannya tergantung subsidi pihak lain dan
lembaga-lembaga sosial milik lembaga diplomatik.
|
||
|
2.
|
Pengusaha adalah
|
||
|
|
a. orang perseorangan,
persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik
sendiri; atau
b. orang perseorangan,
persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya ; atau
c. orang perseorangan,
persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
|
||
|
3. Pekerja/buruh
adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.
4. Pemutusan hubungan
kerja adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan ijin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
5. Pemutusan hubungan
kerja secara besar-besaran (massal) adalah pemutusan hubungan kerja terhadap
10 (sepuluh) orang pekerja/buruh atau lebih pada satu perusahaan dalam satu
bulan atau terjdi rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan
suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara
besar-besaran.
6. Uang pesangon
adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai
akibat adanya pemutusan hubungan kerja.
7. Uang penghargaan
masa kerja adalah uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 1964 sebagai penghargaan pengusaha kepada pekerja/buruh yang dikaitkan
dengan lamanya masa kerja.
8. Ganti kerugian
adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha, kepada pekerja/buruh sebagai
penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ke
tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas
perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia
Pusat sebagai akibat adanya pengakhiran hubungan kerja.
9. Tunjangan tetap
adalah suatu imbalan yang diterima oleh pekerja/buruh secara tetap jumlahnya
dan teratur pembayarannya yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun
pencapaian prestasi kerja tertentu.
10. Pegawai Perantara
adalah Pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf e
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
11. Panitia Daerah
adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
12. Panitia Pusat
adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
13. Menteri adalah
Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
|
|||
3.
|
Ketentuan Pasal 15 diubah dan
ditambah satu ayat yang menjadi ayat (3) baru, sehingga Pasal 15 selengkapnya
berbunyl sebagai berikut:
|
|||
"Pasal 15
|
||||
|
(1) Dalam hal pekerja/buruh mangkir
bekerja paling sedikit dalam waktu 5 (lima) hari kerja berturut-turut dan
telah dipanggil oleh pengusaha 2 ( dua ) kali secara tertulis tetapi
pekerja/buruh tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang
sah, maka pekerja/buruh dianggap mengundurkan diri secara tidak baik dan
pengusaha dapat melakukan proses pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal pekerja/buruh tidak
masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena melakukan mogok
kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
pekerja/buruh tidak dapat dinyatakan sebagai mangkir.
(3) Dalam hal pekerja/buruh tidak
masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena melakukan mogok
kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka pekerja/buruh dinyatakan sebagai mangkir.
|
|||
4.
|
Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga
Pasal 16 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 16
|
||||
|
(1) Sebelum ijin pemutusan hubungan
kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pengusaha dapat
melakukan skorsing kepada pekerja/buruh dengan ketentuan skorsing telah
diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
(2) Dalam hal pengusaha melakukan
skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha wajib membayar upah
selama skorsing paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah yang diterima pekerja/buruh.
(3) Skorsing sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan yang jelas, dan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela diri.
(4) Pemberian upah selama skorsing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Setelah masa skorsing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban membayar
upah, kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat".
|
|||
5.
|
Diantara Pasal 17 dan Pasal 18
disisipkan satu Pasal baru yang menjadi Pasal 17 A, yang selengkapnya
berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 17A
|
||||
|
(1) Dalam hal pengusaha mengajukan
permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) tetapi tidak melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1), maka selama ijin pemutusan hubungan kerja belum diberikan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pekerja/buruh harus tetap melakukan
pekerjaannya dan pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama proses 100%
(seratus perseratus).
(2) Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja tetapi pengusaha tidak mengajukan permohonan ijin, pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan pemutusan
hubungan kerja tersebut menjadi perselisihan, maka sebelum ada putusan
Panitia Daerah atau Panitia Pusat, upah pekerja/buruh selama proses dibayar
100% (seratus perseratus)".
|
|||
6.
|
Ketentuan Pasal 18 disempurnakan
menjadi 5 (lima) ayat sehingga Pasal 18 selengkapnya
berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 18
|
||||
|
(1) Ijin pemutusan
hubungan kerja dapat diberikan karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
sebagal berikut :
|
|||
|
|
a. penipuan, pencurian
dan penggelapan barang/uang milik pengusaha atau milik teman sekerja atau
milik teman pengusaha; atau
b. memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan pengusaha atau
kepentingan negara; atau
c. mabok,
minum-minuman keras yang memabokkan, madat, memakai obat bius atau
menyalahgunakan obat-obatan terlarang atau obat-obatan perangsang lainnya yang
dilarang oleh peraturan perundang-undangan di tempat kerja, dan di
tempat-tempat yang ditetapkan perusahaan; atau
d. melakukan perbuatan
asuslia atau melakukan perjudian di tempat kerja; atau
e. menyerang,
mengintimidasi atau menipu pengusaha atau teman sekerja dan memperdagangkan
barang terlarang baik dalam lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan
perusahaan; atau
f. menganiaya,
mengancam secara physik atau mental, menghina secara kasar pengusaha atau
keluarga pengusaha atau teman sekerja; atau
g. membujuk pengusaha
atau teman sekerja untuk metakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum atau kesusilaan serta peraturan perundangan yang berlaku; atau
h. dengan ceroboh atau
sengaja merusak, merugikan atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
pengusaha; atau
i. dengan ceroboh atau
sengaja merusak atau membiarkan diri atau teman sekerjanya dalam keadaan
bahaya; atau
j. membongkar atau
membocorkan rahasia perusahaan atau mencemarkan nama baik pengusaha dan atau
keluarga pengusaha yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan
negara; danhal-hal lain yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
|
||
|
(2) Pengusaha dalam memutuskan
hubungan kerja pekerja/buruh dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus menyertakan bukti yang ada dalam permohonan ijin pemutusan hubungan
kerja.
(3) Terhadap kesalahan pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan tindakah skorsing sebelum
ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panida Pusat
dengan ketentuan skorsing tersebut telah diatur dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(4) Pekerja/buruh yang diputus
hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak berhak atas uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan
uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tetapi berhak
atas ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 B.
(5) Pekerja/buruh yang melakukan
kesalahan di luar kesalahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diputuskan hubungan kerjanya dengan mendapat uang pesangon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24".
|
|||
7.
|
Ketentuan Pasal 26 diubah dan
ditambah menjadi 4 (empat) ayat, sehingga Pasal 26 selengkapnya berbunyi
sebagal berikut :
|
|||
"Pasal 26
|
||||
|
(1) Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri secara baik atas
kemauan sendiri, maka pekerja/buruh berhak atas ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 B.
(2) Pengunduran diri secara baik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
|
|||
|
|
a. pekerja/buruh
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dengan disertal
alasannya selambat-larnbatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
b. pekerja/buruh tetap
melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
c. pekerja/buruh tidak
terikat dalam ikatan dinas.
|
||
|
(3) Pengusaha harus memberikan
jawaban atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a paling
lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sebelum tanggal mulai pengunduran
diri.
(4) Dalam hal pengusaha tidak memberi
jawaban dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pengusaha
dianggap telah menyetujui pengunduran diri secara baik tersebut".
|
|||
8.
|
Diantara Pasal 26 dan Pasal 27
disisipkan dua Pasal baru yang menjadi Pasal 26 A dan Pasal 26 B, yang
berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 26 A
|
||||
|
(1) Pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh dapat membatasi jumlah pekerja/buruh yang dapat
mengundurkan diri secara baik dalam periode tartentu pada unit kerja yang
sama di perusahaan.
(2) Dalam hal di perusahaan belum
terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, pembatasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan pengusaha bersama dengan wakil pekerja/buruh."
|
|||
"Pasal 26 B
|
||||
|
Ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 26 ayat (1) meliputi :
|
|||
|
a. ganti kerugian
untuk istirahat tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. ganti kerugian
untuk istirahat panjang bilamana di perusahaan yang bersangkutan belaku
peraturan istirahat panjang dan pekerja/buruh belum mengambil istirahat itu
menurut perbandingan antara masa kerja pekerja/buruh dengan masa kerja yang
ditentukan untuk dapat mengambil istirahat panjang;
c. biaya atau ongkos
pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
d. penggantian
perumahan dan pengobatan serta perawatan ditetapkan sebesar 15% (lima belas
perseratus) dari upah :
|
|||
|
|
1. 1 (satu) bulan bagi
pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun;
2. 2 (dua) bulan bagi
pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun;
3. 3 (tiga) bulan bagi
pekerja/buruh, yang mempunyai masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 3 (tiga) tahun;
4. 6 (enam) bulan bagi
pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 4 (empat) tahun;
5. 7 (tujuh) bulan
bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 5 (lima) tahun;
6. 8 (delapan) bulan
bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun;
7. 10 (sepuluh) bulan
bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 9 (sembilan) tahun;
8. 11 (sebelas) bulan
bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun;
9. 12 (dua belas)
bulan bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 12 (dua belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun;
10. 13 (tiga belas)
bulan bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 15 (lima belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 18 (delapan.belas) tahun;
11. 14 (empat belas)
bulan bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 18 (delapan belas) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun;
12. 15 (lima belas) bulan
bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun;
13. 17 (tujuh belas)
bulan bagi pekerja/buruh yang mempunyal masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun
atau lebih;
|
||
|
e. Hal-hal lain yang ditetapkan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
|
|||
9.
|
Ketentuan Pasal 27 diubah redaksinya,
sehingga Pasal.27 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 27
|
||||
|
(1) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja perorangan bukan karena kesalahan pekerja/buruh tetapi pekerja/buruh
dapat menerima pemutusan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak uang
pesangon paling sedikit sebesar 2 ( dua ) kali ketentuan Pasal 22, uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 23 dan ganti kerugian 1
(satu) kali ketentuan Pasal 24, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak
ditetapkan lain.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja massal karena perusahaan tutup akibat mengalami keruglan terus menerus
disertai dengan bukti laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
paling singkat 2 (dua) tahun terakhir, atau keadaan memaksa (force majeur),
maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 ( satu ) kali
ketentuan Pasal 22, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
23 dan ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan Pasal 24, kecuali
atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain.
(3) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja massal karena perusahaan tutup bukan karena alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) atau karena perusahaan melakukan efisiensi, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 22, uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 23, dan ganti kerugian 1
(satu) kali ketentuan Pasal 24, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak
ditetapkan lain".
|
|||
10.
|
Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga
Pasal 28 selengkapnya berbunyi sebagai berikut
|
|||
"Pasal 28
|
||||
|
(1) Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan. kerja karena perubahan status, atau perubahan pemilikan perusahaan
atau perusahaan pindah lokasi dengan nilai syarat kerja yang baru minimal
sama dengan nilai syarat kerja yang lama dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 22, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 23 dan ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan Pasal 24.
(2) Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja karena perubahan status atau perubahan pemilikan perusahaan
atau perusahaan pindah lokasi dan pengusaha tidak bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaannya dengan alasan apapun, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 22, uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 23 dan ganti kerugian .1
(satu) kali ketentuan Pasal 24, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak
ditetapkan lain.
(3) Kewajiban untuk membayar uang
pesangon, uang penghargaan, masa kerja dan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dibebankan kepada pengusaha baru,
kecuali diperjanjikan lain antara pengusaha lama dengan pengusaha baru".
|
|||
11.
|
Ketentuan Pasal 31 diubah dan
ditambah satu ayat yang menjadi ayat (2) baru, sehingga Pasal 31 selengkapnya
berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 31
|
||||
|
(1) Dalam hal pekerja/buruh putus
hubungan kerjanya karena usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf c, dan pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program
pensiun maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon. sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf
d, kecuali diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau
manfaat pensiun dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ternyata lebih kecil dari jumlah uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 22 dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 23 dan
ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan Pasal 24 huruf d, maka selisihnya
dibayar pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha tidak
mengikutsertakan pekerja/buruh yang putus hubungan kerjanya karena usia
pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada
pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 22, dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 23, dan ganti kerugian 1
(satu) kali ketentuan Pasal 24, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak
ditetapkan lain".
|
|||
12.
|
Ketentuan Pasal 32 diubah, sehingga
Pasal 32 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
|
|||
"Pasal 32
|
||||
|
Dalam hal pekerja/buruh putus
hubungan kerjanya karena meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf e, maka pengusaha wajib membayar santunan kepada ahli waris
pekerja/buruh yang sah, uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 22,
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 23 dan ganti
kerugian 1 (satu) kali ketentuan Pasal 24".
|
|||
13.
|
Diantara Pasal 32 dan Pasal 33
disisipkan satu Pasal baru yang menjadi Pasal 32 A, yang berbunyi sebagai
berikut
|
|||
"Pasal 32 A
|
||||
|
(1) Dalam hal pekerja/buruh yang
putus hubungan kerjanya, tetapi belum mencapai usia pensiun namun
pekerja/buruh tersebut telah diikutkan dalam program pensiun dan telah berhak
menerima jaminan atau manfaat pensiun, maka pekerja/buruh tidak berhak atas
uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5), Pasal
20 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 32.
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau
manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil dari
jumlah uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal
23, maka selisihnya dibayar pengusaha.
(3) Bagi pekerja/buruh yang diputus
hubungan kerjanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perhitungan ganti
kerugian yang diatur dalam Pasal 24 huruf d hanya dikaitkan dengan uang
pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22".
|
|||
14.
|
Diantara Pasal 34 dan Pasal 35
disisipkan satu Pasal baru yang menjadi Pasal 34 A, yang berbunyi sebagai
berikut :
|
|||
"Pasal 34 A
|
||||
|
(1) Setiap putusan Panitia Daerah
yang telah mendasarkan putusannya kepada ketentuan dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000 kemudian dimintakan
banding setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri ini, maka Panitia Pusat
dalam menyelesaikan perkara banding tersebut tetap mendasarkan putusannya
kepada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-1
50/MEN/2000.
(2) Setiap putusan Panitia Pusat yang
telah mendasarkan putusannya kepada ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000 kemudian oleh Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi diadakan peninjauan kembali atau penundaan pelaksanaan
putusan, maka dalam mengatur akibat dari pembatalan atau penundaan
pelaksanaan putusan tersebut Menteri tetap mendasarkan keputusannya kepada
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
KEP-150/MEN/2000".
|
|||
15.
|
Diantara Pasal 35 dan Pasal 36
disisipkan satu Pasal baru yang menjadi Pasal 35 A, yang berbunyi sebagai
berikut
|
|||
"Pasal 35 A
|
||||
|
Perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang menetapkan pemberian uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian berdasarkan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000,
maka sejak berlakunya Keputusan.Menteri ini harus dengan sendirinya penetapan
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian didasarkan
kepada Keputusan Menteri ini".
|
|||
Pasal II
|
||||
Keputusan Menteri ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Mei 2001
MENTERI TENAGA KERJA
DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
ALHILAL HAMDI
|
||||
Artikel Terkait : https://bagihukumbm.blogspot.com/2018/01/pesangon.html
Komentar