Bentuk Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara
Keberadaan hak
konstitusional sebagai batasan tindakan pemegang kekuasaan negara dalam
penyelenggaraan negara yang berhadapan atas hak konstitusional warga negara
bermuara pada satu titik yakni bagaimana hak itu dijamin oleh negara mealui
pengaturan dalam konstitusi. Salah satu acuan dalam menentukan apakah telah
terselenggaranya penjaminan hak konstitusional warga negara ialah adanya
mekanisme hukum yang tegas dalam melindungi hak konstitusional warga negara
dari tindakan pemegang kekuasaan negara dalam praktik kehidupan bernegara.
Di dalam buku I
Gede Dewa dijelaskan ada 2 (dua) mekanisme yang dapat ditempuh dalam menjamin
hak konstitusional warga negara yaitu :
1. Melalui Mekanisme Pengadilan
Perlindungan
hak konstitusional melalui mekanisme pengadilan guna mempertahankan hak
konstitusionalnya dari tindakan pelanggaran yang mencederai hak konstitusional tersebut
yang dilakukan pemegang kekuasaan negara adalah sebagai berikut :
a.
Mekanisme Pengadilan
Tata Negara
Pengadilan
tata negara di Indonesia yang dimaksud yakni Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga negara dalam bidang yudikatif yang mempunyai kompetensi mengadili
pengujian konstitusionalitas undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C
ayat (1) UUD 1945 sebagai upaya tegaknya hak konstitusional warga negara atas
kelalaian pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam menyusun
undang-undang yang menyebabkan tercederainya hak konstitusional warga negara.
Mekanisme ini merupakan upaya dalam menjamin konstitusionalitas baik judicial review maupun constitutional complaint. Dalam hal ini judicial review dan constitutional complaint harus dibedakan karena judicial review
merupakan upaya pengujian konstitusionalitas atas berlakunya undang-undang di
masyarakat sedangkan constitutional
complaint merupakan upaya uji konstitusionalitas terhadap perbuatan
pemegang kekuasaan negara.[1]
Meskipun demikian, ada kemungkinan pengertian judicial review dan constitutional complaint bertemu, yaitu
takkala pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat umum dan abstrak
(general and abstract norm) dan yang
diuji adalah konstitusionalitas dari norma itu.[2]
Kedua mekanisme ini
memang merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh dalam mempertahankan hak
konstitusional warga negara. Namun, judicial
review harus tetap dipandang sebagai mekanisme hukum dalam menguji
konstitusionalitas undang-undang yang mana dapat dikatakan bahwa uji
konstitusionalitas dalam pengertian sempit. Hal berbeda dengan constitutional complaint, dimana ketika
dikaitkan dengan konsep negara dan kedaulatan, maka constitutional complaint merupakan mekanisme hukum dalam pengertian
luas yang melindungi hak-hak warga negara.
b.
Mekanisme
pengadilan tata usaha negara
Di dalam Pasal 1
angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan
bahwa sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dari
pengertian diatas, diketahui bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang beersifat
konkret, individual dan final menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan
hukum perdata.[3]
Keputusan tersebut dapat digugat apabila keputusan bertentangan dengan
peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dalam hal ini ada 3
pengertian bertentangan dengan peraturan perundang-undang, yakni :[4]
a)
Bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersifat formal
b)
Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersifat materil
c)
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang tidak berwenang.[5]
1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud yang
diberikannya wewenang tersebut.
2)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalm Pasal
53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu,
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Dari uraian
diatas bahwa mekanisme ini dapat ditempuh karena adanya Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
melanggar hak konstitusional orang atau badan hukum yang diatur Undang-Undang
Dasar 1945 yang dimana keputusan tersebut melanggar hak konstitusionalnya yang
diperjelas melalui Undang-Undang yang mengatur akan hal tersebut serta
sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan Undang-Undang Dasar termasuk kategori peraturan
perundang-undangan. Maka dapat dikatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara
merupakan mekanisme yang dapat melindungi hak konstitusional warga negara atas
dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c.
Mekanisme Pengadilan Biasa
Dalam praktik
peradilan umum, ada dua dua jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut
pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara yakni pengadilan pidana dan
pengadilan perdata.
Dalam pengadilan
perdata sifat sengketa yang diadili adalah sengketa antar individu atau badan
hukum dan kebenaran yang ditegakkan ialah kebenaran formal. Meskipun demikian
terkait perlindungan hak konstitusional warga negara dapat kita temukan pada
upaya hukum yang dapat ditempuh yakni : banding, kasasi, verzet maupun peninjauan kembali. Mekanisme hukum ini dapat
ditempuh apabila salah satu pihak bersengketa merasa terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh hakim (hakim direpresentasikan sebagai kekuasaan negara).
pelanggaran itu berupa penerapan maupun penafsiran hukum yang salah yang
menyebabkan salah satu pihak bersengketa dicederai hak konstitusionalnya dalam
meperoleh keadilan dan kepastian hukum.
Sementara dalam
pengadilan pidana, sengketa yang diperiksa dan diadili bersifat antar individu
dan negara-perlindungan yang diberikan kepada seseorang individu sifatnya luas
yang dimaksudkan bahwa perlindungan telah diberikan sejak seseorang berstatus
tersangka dimana ia masih dianggap tidak bersalah dalam perkara yang diperiksa
dan diadili sebelum hakim menjatuhkan vonis serta dalam pengumpulan alat bukti
adanya larangan dalam mendapatkan alat bukti secara tidak sah yang mengganggu
kebebasan individu. Selain itu, tersangka dapat menempuh upaya pra peradilan
sebelum perkara diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim apabila dalam proses
penangkapan dan penyidikan perkara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
ditemukan prosedur yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meskipun Majelis
Hakim telah memutus perkara tersebut, apabila ditemukan pelanggaran oleh hakim yang
merugikan terdakwa, putusan tersebut mungkin terjadi kesalahan hakim dalam
menerapkan norma hukum. Perlindungan hak kontitusional warga negara dapat
dilakukan melalui upaya banding, kasasi, kasasi demi hukum dan peninjauan
kembali. Secara umum tujuan dari dilakukannya sistem peradilan ini mengandung
prinsip perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.[6]
Meskipun
demikian, perlindungan dalam sistem peradilan ini tidak hanya terkait atas
perlindungan hak konstitusional warga negara (dalam kaitan status
kewarganegaraan tersangka) namun juga menyangkut hak-hak asasi manusia yang
perlindungannya diakui secara universal.
d.
Mekanisme
pengadilan HAM ad hoc
Hak konstitusional
juga berkenaan akan hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam menegakkan hak
asasi yang menjadi bagian hak konstitusional warga negara maka mekanisme ini
dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa hak asasi manusianya telah
dilanggar oleh karena itu ia dapat menempuh upaya ini dalam mempertahankan
hak-haknya yakni hak asasinya yang terkandung dalam konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lainnya. Hal ini terkait juga atas peristiwa pelanggaran HAM
yang terjadi dalam proses perjalanan ketatanegaraan Indonesia.
2. Melalui mekanisme diluar pengadilan
Selain
melalui proses pengadilan, mekanisme hukum yang dapat ditempuh dalam
mempertahankan hak konstitusional warga negara dapat ditempuh melalui jalur
diluar pengadilan. Wujud dari perlindungan tersebut berupa institusi yang
dibentuk berdasarkan maksu pembentukan, wewenang serta aktifitasnya.[7]
Institusi itu antara lain :
a.
Ombusdman Republik
Indonesia
Ombusdman
Republik Indonesia dibentuk berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia. Nomenklatur lembaga ini sebelumnya ialah Komisi Ombudsman
Nasional yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 44 Tahun 2000.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU no 37 tahun 2008, ombudsman merupakan lembaga
negara yang memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik,
baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk
yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), serta badan swasta atau perseorangan
yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN)
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ombudsman
sebagai lembaga yang memberi perlindungan hak konstitusional warga negara dapat
kita lihat dari tujuan dibentuknya lembaga ini yang dimuat dalam Pasal 4 UU
Ombudsman, yaitu :
1) Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil dan sejahtera.
2) Mendorong penyelenggara dan pemerintahan negara yang efektif dan efisien,
jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
3) Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga
negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman dan kesejahteraan yang baik.
4) Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan
pencegahan prakti-praktik maladministrasi[8],
diskriminasi, korupsi, kolusi serta nepotisme.
5)
Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum
masyarakat dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
Dari penjelasan tujuan atas dibentuknya Ombudsman Republik
Indonesia diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui Ombudsman RI, warga
negara yang terlanggar hak konstitusionalnya dapat menempuh upaya ini dengan
melakukan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu,
keseimbangan dalam penyelenggaraan negara dapat teraplikasi dengan baik serta
pelindungan hak konstitusional warga negara dapat dijamin.
b.
Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang biasa disebut
Komnas HAM merupkan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 50
Tahun 1993 dan diperkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Dalam Pasal 1 angka 7 UU HAM,
Komnas HAM merupakan lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga
negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan dan mediasi Hak Asasi Manusia.
Perlindungan
hak konstitusional warga negara yang diberikan lembaga ini dapat kita lihat
dalam Pasal 75 UU HAM yang menjelaskan tujuan lembaga ini dibentuk, yakni :
1) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia
sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM.
2) Meningkatkan perlindungan dan pengegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dari penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa lembaga ini
memberikan perlindungan kepada warga negara dalam mempertahankan hak
konstitusionalnya serta harkat martabat sebagai manusia.
c.
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban atau yang biasa disingkat LPSK dibentuk
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal
1 angka 3, dijelaskan bahwa lembaga ini merupakan lembaga yang bertugas untuk
memberi perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi atau korban. Secara tersirat
tujuan lembaga ini ialah memperjuangkan hak-hak tertentu saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penjaminan dan
perlindungan hak konstitusional warga negara diberikan kepada saksi dan korban
dalam proses peradilan pidana yang mana harus dilindungi dan dijamin hak-haknya
selama proses peradilan pidana dilakukan.
[1] I Gede Dewa, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
complaint), (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), Hlm. 153.
[5] Phillipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 326-327.
[6] Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice,
(Cambridge : Cambridge University Press,
2005), hlm. 92-94.
[8] Dijelaskan dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Komentar