Hukum Persaingan Usaha

Sharing Hukum

Hukum persaingan usaha mulai banyak dibicarakan seiring dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini disahkan tanggal 5 Maret 1999, tetapi baru efektif berlaku satu tahun kemudian.

Ada banyak terminologi yang diintroduksi dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini. Sebagian di antaranya dapat dilihat dalam ketentuan umumnya. Namun, untuk menyamakan persepsi ada beberapa diantaranya yang perlu dikemukakan.
Pertama, undang-undang ini membedakan istilah “monopoli” dan “praktek monopoli”. Kata monopoliadalah kata yang bermakna netral, yaitu penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Penguasaan demikian tidak harus berarti negatif. Ada jenis monopoli tertentu yang tidak bisa dihindari demi alasan efisiensi (natural monopoly) atau karena dilindungi oleh undang-undang (statutory monopoly). Yang dilarang adalah praktek monopoli, yang oleh undang-undang ini diartikan sebagai monopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Jadi, monopoli bisa berdampak positif dan bisa negatif. Sayangnya, UU No. 5 Tahun 1999 tidak cukup konsisten untuk menggunakan pembedaan dua istilah di atas. Hal itu terlihat dari pemakaian judul Bagian Pertama dari Bab IV tentang Kegiatan yang Dilarang. Di situ dicantumkan istilah “monopoli” sebagai salah satu jenis kegiatan yang dilarang, yang seharusnya tertulis “praktek monopoli”.
Kedua, sekalipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sering diberi nama lain sebagai Undang-Undang Antimonopoli, pada dasarnya monopoli hanya salah satu jenis kegiatan yang disebut-sebut dalam undang-undang ini. Di samping ada bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang, juga ada bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang. Penyebutan UU Antimonopoli—seperti gagasan DPR saat itu—untuk menyebut UU No. 5 Tahun 1999, dengan demikian, menjadi kurang tepat. Akan lebih baik jika digunakan istilah UU Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU Anti Persaingan Curang.

AZAS DAN TUJUAN
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut:
1.  Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.  Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3.  Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.  Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Beberapa kegiatan Usaha yang dilarang dalam pasal 17 s.d 24 antara lain :

1. Monopoli (Pasal 17);
(1)Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 
(2)Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
1.barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; 
2.mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
3.satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2.  Monopsoni (Pasal 18);
(1)Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3.  Penguasaan Pasar (Pasal 19);
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
1)menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
2)atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
4.    Dumping (Pasal 20)
Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”.
5.    Manipulasi Biaya Produksi (Pasal 21);
“Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
6.    Persekongkolan
Pasal 22:  “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal 23:  “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal 24:  “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan”

Perjanjian Usaha yang dilarang :

1.    Oligopoli (Pasal 4)
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Oligopoli bersifat rule of reason.
2.    Penetapan harga (Pasal 5)
Penetapan harga (price fixing )bersifat per se.Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
1)Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama;
2) Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama;
3)Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar;
4) Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

3.    Diskriminasi Harga dan Diskon (Pasal 6 sampai 8)
Pasal 6:  “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”.
Pasal 7:  “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pe1aku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal 8:   “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang rnemuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pembagian wilayah ini bersifat rule of reason.
4.    Pembagian wilayah (Pasal 9)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat. Pembagian wilayah ini bersifat rule of reason.
5.    Pemboikotan (Pasal 10)
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Pemboikotan bersifat per se dan rule of reason.
6.        Kartel (Pasal 11)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa. Kartel bersifat per se.
7.        Trust (Pasal 12)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa. Trust bersifat rule of reason.
8.        Oligopsoni (Pasal 13)
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas. Oligopsoni bersifat rule of reason.
9.        Integrasi Vertikal (Pasal 14)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. Integrasi vertikal bersifatrule of reason.
10.    Perjanjian tertutup (Pasal 15)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. Perjanjian tertutup(exclusive dealing) bersifat per se.
11.    Perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Artikel terkait lain :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peraturan Pemerintah Terkait Pertanahan

Keputusan Menteri No. 78 Tahun 2001 Tentang Pesangon

Memilih Menggunakan UMP atau UMK