Fraud, Korupsi dan Gratifikasi penyelenggaraan jaminan kesehatan
Sharing Hukum
I.
Gambaran
Umum Defisit BPJS Kesehatan
a. Berbagai
Negara
1) Belanda
Pemerintah
Belanda merancang agar seluruh warganya memperoleh jaminan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup minimumnya dengan menerapkan program asuransi kesehatan sosial
yang dikelompokkan menjadi dua yaitu yang berlaku bagi seluruh penduduk (national scheme) dan bagi kelompok
tenaga kerja, yang kemudian membuka peluang jaminan sosial sesuai kebutuhan
atau kemampuan tenaga kerja. Di sana terdapat 20 lembaga atau yayasan
non-profit penyelenggara program asuransi kesehatan sosial sehingga tenaga
kerja dapat memilih satu diantara mereka. Lembaga atau sichting tersebut diperkenankan membuka usaha untuk asuransi kesehatan
swasta, bahkan rumah sakit juga bersifat non-profit.
Belanda
memiliki undang-undang yang mengatur pengaturan tarif rumah sakit yaitu “The Health Care Rates Act”. Tarif rumah
sakit ditetapkan berdasarkan negosiasi rumah sakit dan lembaga asuransi kesehatan
serta musti mendapat persetujuan “The
Central Health Care Rates Boards”. Penyelenggaran jaminan sosial ini juga
mengakibatkan Pemerintah untuk menganggarkan dana yang sangat besar, sehingga
di masa akan datang pemerintah Belanda akan berupaya melakukan langkah-langkah
strategis guna mengendalikan biaya pelayanan kesehatan agar tidak melampaui angka
1,3% per tahun, misalnya dengan mengurangi benefits
package bagi peserta asuransi kesehatan sosial, khususnya pelayanan gigi
dan fisioterapi serta mengendalikan dana obat-obatan dengan menetapkan harga
maksimum sesuai standar Eropa.
2) India
Kualitas
pembiayaan kesehatan memang menjadi satu hal penting bagi negara berkembang,
tak terkecuali India. Pemerintah India menganggarkan Rs 103.000 atau sekitar
5,2% dari GDP. Pemerintah India melaksanakan jaminan sosial ke dalam lima
bentuk pembiayaan kesehatan yaitu private
insurance, sosial insurance, employer-provider cover, community insurance
schemes dan government healthcare
spend. Namun pada kenyataannya, lebih dari 60% masyarakat India yang masih
tergolong miskin menerapkan sistem out of
pocket spending, di mana pembiayaan kesehatan tidak dianggarkan sebelumnya
dan menjadikannya tidak efisien.
3)
Amerika
Serikat
Amerika
menjadi satu-satunya negara yang menerapkan asuransi kesehatan komersial bagi
rakyatnya, di mana mereka bebas menentukan pilihan, termasuk bebas tidak
berasuransi. Meski akhirnya jumlah perusahaan asuransi kesehatan menjamur namun
biaya operasional sangat besar, premi menukik tajam setiap tahun, tingginya unnecessary utilization karena sistem
pembiayaan fee for services maupun
mutu pelayanan kesehatan yang meragukan meski penggunaan teknologi canggih
bukan lagi hal baru. Tingginya biaya kesehatan yang mencapai 12% dari GNP (Gross National Product) menyebabkan
biaya kesehatan menjadi beban berat secara ekonomis. Biaya produksi barang dan
jasa menjadi tinggi karena tingginya biaya komponen kesehatan. Langkah
strategis pun dibuat. Tahun 1973 Pemerintah federal AS menerbitkan Health Maintenance Organization
(HMO-ACT), sebuah undang-undang yang bermaksud mengerem pertumbuhan conventional health insurance. Tahun
1984 Ronald Reagan menetapkan pembayaran berdasarkan DRG’s (Diagnostic Related Group’s) untuk
program medicare dan medicaid. Kemudian tahun 1992, Presiden
Clinton melancarkan “Health Care Reform”
dalam upaya memenuhi janji kampanyenya, karena di Amerika isu kesehatan memang
paling laku dijual.
Pada masa
pemerintahan Barrack Obama, penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan melalui
kebijakan The Patient
Protection and Affordable Care Act of 2010 (ACA) atau yang lebih dikenal
dengan Obama Care, namun kebijakan
jaminan sosial ini membawa Amerika dalam situasi shutdown sehingga memaksa pemerintah melakukan penutupan kantor
pemerintah 18 kali dalam 30 tahun terakhir.
Ini menjadi buntut perdebatan
politik antara Partai Republik yang menguasai Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative)
dan Demokrat yang menguasai Senat, dimana posisinya lebih tinggi dari DPR. Karena
perbedaan pendapat antar dua majelis atas pengeluaran pemerintah federal,
Kongres AS gagal melewati anggaran sebelum tahun fiskal yang berakhir pada 30
September 2013.
Berlanjut pada pemerintahan Presiden Donald Trump yang
juga mencoba menghentikan kebijakan jaminan sosial nasional tersebut dalam
mengatasi kondisi perekonomian Amerika yang terus melemah, dimana Amerika harus
menganggarkan dana yang besar setiap tahunnya dalam menutupi defisit
pengelolaan kebijakan Obama Care. Namun dalam pergolakan politik pada kongres
Amerika, Partai Demokrat tetap bersikukuh untuk mempertahankan kebijakan
jaminan sosial nasional tersebut, yang mana paket politik yang ditawarkan
Donald Trump berupa jaminan sosial sebagai pengganti kebijakan Obama Care
dianggap tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengatasi keadaan
perekonomian.
b. Indonesia
Sejak dibentuk pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan kerap mengalami
deficit dimana hal ini dapat dilihat dari statistik yang terjadi dari 2014 sampai
dengan 2016. Kondisi ini memaksa Pemerintah melakukan suntikan sejumlah dana
setiap tahunnya, yakni :
·
Pada 2014
defisit mencapai Rp 3,3 triliun, yang selanjutnya Pemerintah menyuntikkan dana
sebesar Rp. 500 miliar;
·
Pada 2015
defisit meningkat menjadi Rp 5,7 triliun, yang selanjutnya Pemerintah
menyuntikkan dana sebesar Rp. 5 triliun; dan
·
Pada 2016
desifit mencapai Rp 9,7 triliun, yang selanjutnya kembali Pemerintah
menyuntikkan dana sebesar Rp. 6,8 triliun;
Sejatinya Pemerintah
sudah menanggung iuran peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) BPJS Kesehatan.
Berdasarkan data Direktorat Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, pemerintah telah
mengalokasikan anggaran JKN dalam APBN 2016 sebesar Rp 37,79 triliun, naik dari
tahun lalu yang sebesar Rp 30,77 triliun.
II.
Penyebab
Defisit Kesehatan
a.
Indonesia
Beberapa faktor
yang menjadi penyebab defisitnya pengelolaan dana jaminan sosial, antara lain :
·
data BPJS kesehatan yang bermasalah;
·
kecurangan pelayanan kesehatan;
·
mahalnya harga obat dan adanya kartel obat;
·
korupsi dana jaminan kesehatan nasional;
·
pengelolaan dana yang dihimpun yang tidak menguntungkan;
Untuk mengatasi salah faktor defisitnya dana pengelolaan BPJS
yaitu kecurangan dalam pemanfaatan dana BPJS dalam kegiatan penyelenggaraan
jaminan sosial, Menteri Kesehatan RI menerbitkan Permenkes 36 tahun 2015
tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), Fraud dalam jaminan kesehatan
adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS
kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan
untuk mendapat keuntungan finansial dari program JKN dalam SJSN melalui
perbuatan curang yang tidak sesuai ketentuan. Dalam
peraturan menteri ini, sudah mencakup kegiatan-kegiatan seperti membangun
kesadaran, pelaporan, deteksi, investigasi, dan pemberian sanksi.
Maraknya tindakan korupsi sebagai salah satu akibat adanya tindak
pidana korupsi dalam penyelenggaraan jaminan sosial sebagai salah satu faktor
menyebabkan defisitnya pengelolaan dana BPJS dikarenakan perbuatan tersebut
dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif.
Potensi tindak pidana korupsi muncul dikarenakan :
·
tenaga medis bergaji rendah;
·
adanya ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban
layanan kesehatan;
·
penyedia layanan tidak memberi insentif yang memadai;
·
kekurangan pasokan peralatan medis;
·
inefisiensi dalam sistem;
·
kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan; dan
·
faktor budaya;
factor lain yang menjadi permasalahan mendasar dalam penanganan
masalah kesehatan masyarakat melalui program jaminan kesehatan masyarakat
adalah selama ini tindakan yang dilakukan hanya berkisar pada penanganan
kuratif (penanggulangan ketika sakit) hal inilah yang menjadikan membesarnya
biaya pelayanan kesehatan masyarakat. Seharusnya dalam mengatasi kesehatan
masyarakat melalui jaminan kesehatan memberikan beberapa tindakan antara lain :
Promosi
Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan terus dilakukan dengan sasaran
komunitas atau perorangan, terlepas apakah komunitas atau perorangan tersebut
ada dalam lingkungan kesehatan berisiko. Ini termasuk misalnya PHBS, memakan
makanan bergizi, olahraga, membagi waktu hidup secara serasi (misalnya untuk
rekreasi dan bersosialisasi).
Upaya
preventif
Kegiatan preventif dilakukan karena ada risiko kesehatan.
Misalnya, karena ada virus campak di sekitar penduduk, maka anak-anak diberikan
vaksinasi campak. Seperti kejadian asap di beberapa Provinsi di Indonesia
beberapa waktu lalu, maka di wilayah asap tersebut penduduk dianjurkan
menggunakan masker.
Program
surveilans
Kegiatan surveilans dilakukanuntuk menjaring (skrining) apakah ada
penduduk yang terpapar pada risiko kesehatan yang sudah menjadi sakit.
Tujuaanya adalah untuk menemukan kasus tersebut sedini mungkin (diangnosis
dini), kemudian melakukan pengobatan secepat mungkin (pengobatan segera atau “prompt treatment”). Penimbangan balita
untuk menemukan balita kurang gizi, IVA untuk mendeteksi Ca- servix pada
tingakt dini, prakter “SADAR” untuk mendeteksi Ca-payudara, adalah contoh-contoh
surveilans penyakit.
Pengobatan
(kuratif)
Kegiatan kuratif adalah pelayanan pengobatan untuk memulihkan
orang sakit dan meminimalisasi disabilitas/kecacatan. Pengobatan bisa dilakukan
oleh tenaga non- spesialistik (pengobatan primer), oleh tenaga spesialis
(pengobatan sekunder) dan oleh tenaga sub-spesialisasi (pengobatan tertier).
Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi adalah upaya memulihkan kapasitas seseorang
sesudah sembuh dari penyakit tetapi mengalami disabilitas atau ketidak mampuan.
Kegiatan rehabilitasi termasuk di dalamnya fisioterapi, terapi okupasi dan
sosial bagi penderita jiwa baru sembuh.
UKM dan UKP
Secara umum, upaya kesehatan dibagi 2 (dua) kelompok, yaitu (i)
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), dan (ii) Upaya Kesehatan Perorangan (UKP).
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) a. Sasarannya adalah komunitas
atau kelompok masyarakat b. Intervensinya mengutamakan kegiatan promotif,
preventif dan surveilans c. Intervensinya dilakukan melalui penggerakan (i)
mesin sosial (kelompok masyarakat kader, tokoh masyarakat, dan (ii) mesin
birokrasi (misalnya bupati, camat, kepala desa). d. Lebih bersifat “public good”
e. Pembiayaan menjadi tanggung jawab pemerintah
Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP) a. Sasarannya adalah perorangan b. Intervensinya mengutamakan pada pengobatan
dan rehabilitasi atau pelayanan promotif dan preventif yang
bersifat perorangan c. Intervensinya
dilakukan melalui fasilitas
pelayanan kesehatan (primer, sekunder, tertier) d. Lebih
bersifat “private good” e. Pembiayaan menjadi tanggung jawab masyarakat dan
pemerintah
UKM dan UKP bukan dan tidak
boleh diperlakukan sebagai dikotomi. Keduanya menempatkan posisi saling berkaitan
satu sama lain. Karena dalam pelaksanaannya, Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
adalah salah satu upaya untuk menekan besarnya potensi biaya yang harus
dikeluarkan untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Secara rasional, dapat
dideskrpsikan penggunaan pembiayaan yang cukup untuk pelayanan UKM seperti
biaya posyandu untuk imunisasi campak di desa-desa, biaya sosialisasi kesehatan
reproduksi remaja di sekolah, sosialisasi terkait Penyakit Tidak Menular baik
di perkotaan maupun pedesaan dan upaya kesehatan masyarakat lainnya akan mampu
mengurangi segala risiko penyakit yang pengobatannya membutuhkan biaya yang
sangat tinggi.
Hal inilah sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN pasal 21 ayat (1)
yang menyatakan :
Manfaat
jaminan kesehatan bersifat pelayanan perorangan berupa pelayanan kesehatan yang
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk
obat dan bahan medis habispakai yang diperlukan.
b.
Berbagai
Negara
menurut Cressey (1973), terdapat 3 faktor
yang pasti muncul bersamaan ketika seseorang melakukan Fraud. Pertama adalah
tekanan yang merupakan faktor pertama yang memotivasi seseorang melakukan
tindak kriminal Fraud. Kedua adalah kesempatan yaitu situasi yang memungkinkan
tindakan kriminal dilakukan. Ketiga adalah rasionalisasi, yaitu pembenaran atas
tindakan kriminal yang dilakukan.
The Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE), sebuah organisasi profesional yang bergerak dibidang pemeriksaan atas
kecurangan dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan yang berkedudukan
di Amerika Serikat dan telah memiliki cabang di Indonesia, mengklasifikasikan
Fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah
“Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi mengenai hal-hal yang ditimbulkan oleh
kecurangan sebagai berikut :
1. Penyimpangan atas aset (Asset
Misappropriation). Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/ pencurian
aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk Fraud yang
paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/
dihitung (defined value).
2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan
(Fraudulent Statement). Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan
oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk
menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan
(financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh
keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing. 3.
Korupsi (Corruption). Jenis Fraud ini yang paling sulit dideteksi karena
menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal
ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang
penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik
sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali
tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisma). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/
konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan
yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi
(economic extortion). Secara umum, Fraud adalah sebuah tindakan kriminal
menggunakan metode-metode yang tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari
orang lain (Merriam-Webster Online Dicionary). Secara khusus, Fraud dalam
jaminan kesehatan didefinisikan sebagai sebuah tindakan untuk mencurangi atau
mendapat manfaat program layanan kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya
(HIPAA, 1996).
III.
Indikasi
Terjadinya error (mismatch), fraud, Korupsi dan Gratifikasi
dalam BPJS
Dalam
penyelenggaraan jaminan sosial BPJS
Kesehatan mempunyai payung hukum yaitu :
Undang-Undang
RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
Undang-Undang
RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
Berdasarkan ketentuan tersebut sistem jaminan
sosial nasional dilakukan oleh BPJS, yang mana adanya transformasi pengelola
jaminan sosial yang lama yaitu : PT. Askes dan PT. Jamsostek menjadi BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS
merupakan organ pemerintah sehingga dalam melaksanakan kegiatan jaminan sosial
sebagaimana disebutkan dalam UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS haruslah
tunduk pada ketentuan UU RI No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau dalam bahasa asing disebut “good governance” dalam menyelenggarakan
kegiatan jaminan sosial.
Dewasa ini, trend korupsi menjadi hal yang menyita perhatian, termasuk dalam
pengelolaan dana jaminan sosial yang dilaksanakan BPJS. Serangkaian kegiatan
jaminan sosial yang dilaksanakan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.
Sebelum masuk lebih jauh rangkaian tindak pidana korupsi yang dapat terjadi
dalam penyelenggaraan dana jaminan sosiasl, berikut kami sertakan contoh kasus-kasus
korupsi dalam penyelenggaraan jaminan sosial yang pernah terjadi, antara lain :
Korupsi
Bupati Subang dalam perkara BPJS
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi
pemberantasan Korupsi menahan Bupati Subang Ojang Sohandi dalam
kasus suap jaksa penuntut umum yang menangani perkara kasus anggaran Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tahun 2014. Bupati Ojang Sohandi ditahan
selepas pemeriksaan yang digelar Selasa, 12 April 2016, pukul 16.00 WIB.
Ojang keluar dari ruang pemeriksaan dengan mengenakan rompi
oranye. Ditemui wartawan, Ojang menyampaikan permintaan maafnya, karena
terseret kasus
suap kasus penyalahgunaan anggaran BPJS tahun 2014.
Pada kesempatan itu, Ojang juga menyampaikan pesannya pada warga
Subang. "Tetap jaga kebersamaan dan kekompakan, mudah-mudahan Subang
menjadi kabupaten yang maju," katanya. Ojang ditahan di Rumah Tahanan
Kepolisian Resor Jakarta Timur.
Sedangkan, dua tersangka lain yang terlibat, yaitu Devianti
Rochaeni (DVR), selaku Jaksa Pidana Khusus Kejati Jawa Barat, ditahan di Rutan
KPK, dan Lenih Marliani, istri terdakwa Jajang Abdul Holik (JAH) mantan Kepala
Bidang Pelayanan Dinas Kesehatan, ditahan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Sementara itu, Fahri Nurmallo (FN) selaku ketua tim JPU Kejati
Jawa Barat saat ini diketahui berada di Semarang, atau belum dibawa KPK ke
Jakarta. FN yang merupakan ketua tim JPU yang menangani kasus terdakwa, sudah
dimutasi dari Kejati Jawa Barat ke Kejati Jawa Tengah di Semarang.
Mereka terlibat dalam dugaan suap kasus penyalahgunaan anggaran
BPJS tahun 2014. Total barang bukti suap yang disita adalah uang tunai senilai
Rp 913 juta, yang ditemukan ketika operasi tangkap tangan di kantor Kejaksaan
Tinggi Jawa Barat dan kantor Kodam Jaya Subang, Senin, 11 April lalu.
Kasus
Korupsi Dana BPJS di Singkawang
Jakarta, HanTer - Kejaksaan Negeri Singkawang telah
menangani sebanyak empat kasus dugaan korupsi sepanjang tahun 2016.
"Ada empat kasus dugaan korupsi yang kita tangani
sepanjang tahun 2016. Semuanya saat ini sudah naik ke tingkat penyidikan,"
ujar Kepala Kejaksaan Negeri Singkawang, M Ravik di Jakarta, Senin
(12/12/2016).
Ravik menyebutkan, empat kasus dugaan korupsi yang dimaksud
adalah, pertama, kasus dugaan korupsi BPJS. Yang mana dalam kasus ini, terjadi
kerja sama antara RSU Harapan Bersama dan BPJS Singkawang. "Dalam kasus
dugaan korupsi ini kita telah menyelamatkan uang negara sekitar
Rp823.227.000," ungkapnya.
Menurutnya, penyidikan kasus dugaan korupsi ini masih terus
berjalan. Pihaknya juga telah melakukan pemeriksaan kepada 20 orang saksi. Dan
mungkin dalam waktu dekat, pihaknya juga akan melakukan pemeriksaan kepada 10
orang pasien BPJS. Ravik menilai, jika kasus BPJS merupakan kasus yang baru.
Untuk itu, diperlukan ekstra hati-hati dalam penanganannya.
Berdasarkan contoh kasus korupsi dalam
penyelenggaraan jaminan sosial diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan jaminan sosial sangatlah rentan akan dugaan terjadinya tindak
pidana korupsi. Kondisi ini disebabkan banyaknya aspek kegiatan yang harus
dilaksanakan dalam kegiatan tersebut antara lain : penghimpunan dana
masyarakat, pengelolaan dana masyarakat, pengelolaan keuangan Negara (berupa
bantuan, pinjaman, sumber permodalan dll), pemanfaatan pengelolaan dana dan
lain-lain yang sangat rentan terjadinya korupsi.
Salah satu perbuatan yang berpotensi
dilakukan dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah fraud atau Kecurangan. Fraud
(Kecurangan) dalam sektor kesehatan dapat dilakukan oleh semua pihak yang
terlibat dalam program JKN mulai dari peserta BPJS Kesehatan, penyedia layanan
kesehatan, BPJS Kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan. Uniknya
masing-masing aktor ini dapat bekerjasama dalam aksi Fraud atau saling mencurangi satu sama lain.
Kementerian
Kesehatan mendeteksi adanya tindak penyimpangan atau fraud dalam skema layanan
Jaminan Kesehatan Nasional. Ada sekitar 1 juta klaim yang diterima BPJS
Kesehatan ditengarai menyimpang sehingga merugikan negara. Di seluruh
Indonesia, hingga pertengahan tahun 2015 terdeteksi potensi fraud dari 175.774
klaim Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)
dengan nilai Rp 440 miliar. Potensi fraud
ini baru dari berasal dari kelompok provider
pelayanan kesehatan, belum dari aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien,
dan supplier alat kesehatan dan obat.
Pusat Kebijakan dan
Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kesehatan Universitas Gadjah Mada juga
melakukan pendekatan retrospektif untuk mendeteksi fraud. PKMK melakukan audit klinis menggunakan rekam medis. Rekam
medis yang diaudit adalah penyakit dan tindakan yang high cost, high volume, ataupun problem
prone yang terjadi di rumah sakit. Hasil self assessment pada tujuh rumah sakit pemerintah di pulau Jawa
menunjukkan adanya potensi fraud
dalam layanan kesehatan di Indonesia. Modus yang potensi penggunaannya hingga
100 persen adalah upcoding, yakni
diagnosis atau prosedur pelayanan yang diklaim dibuat lebih kompleks dan lebih
mahal daripada yang sebenarnya, sehingga nilai klaim menjadi lebih tinggi
ketimbang yang seharusnya. Laporan self
assessment ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengembangkan
sistem anti-fraud yang lebih baik.
Lebih jauh dalam Hukum Administrasi Negara
(HAN), menyatakan bahwa “geen
bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without
responslibility” yang dapat
diartikan bahwa dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat
pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang
bersangkutan. Pada hukum administrasi berlaku prinsip
pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum
pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).
Untuk dapat melihat bentuk
pertanggungjawaban atas perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan atau pejabat administrasi maka digunakan parameter atau standar
penilaian sebagaimana yang diatur dalam UU dan AUPB. Terkhusus dalam
penyelenggaraan BPJS maka tolak ukur dalam menilai suatu perbuatan
penyelenggara jaminan sosial adalah UU BPJS, UU SJSN dan UU Administrasi
Pemerintahan.
Pertanggungjawaban tersebut dapat
berupa pertanggungjawaban secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar
hukum (“melawan hukum” dan/atau “penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat
kerugian pada keuangan Negara. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi Negara
inilah yang mengilhami pertanggungjawaban pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor dalam hal kerugian keuangan negara.
Berikut kami
sertakan cara mengukur suatu tindakan yang dikutip dari W. Konijnenbelt, yang menyatakan bahwa
untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai
berikut:
1. Unsur
menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan
dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini.
Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
2.
Asas
kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid
ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini
diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis)
itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang
mendesak sifatnya.
Lebih lanjut Indriyanto
Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip
pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir”
dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum
administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
1. Penyalahgunaan
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan;
2. Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut
diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3. Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan
untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.
Selanjutnya tindakan sewenang-wenang “abus
de droit” yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar
lingkungan ketentuan perundang-undangan. Perbuatan inilah yang sering disebut
sebagai perbuatan melawan hukum.
Sebagaimana telah diuraikan diatas terkait
tata kelola penyelenggaraan jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan UU
BPJS, maka UU tersebut dapat dijadikan standar untuk mengukur suatu tindakan
dalam penyelenggaraan jaminan sosial terindikasi penyalahgunaan kewenangan,
perbuatan melawan hukum, perbuatan sewenang-wenang maupun perbuatan yang
berimplikasi sebagai tindak pidana korupsi.
Sejalan dengan pendapat “tiada suatu wewenang tanpa pertanggungjawaban” dan sejumlah
wewenang dalam penyelenggaraan jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan UU
BPJS baik berupa perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan dana yang masuk dalam
BPJS, maka dapat disimpulkan bahwa setiap pelaksanaan kewenangan tersebut dalam
penyelenggaraan jaminan sosial dimungkinkan terjadi suatu perbuatan yang
terindikasi korupsi, baik berupa perbuatan curang, penipuan, penggelapan, pilih
kasih dan pemerasan yang kesemua perbuatan tersebut telah dirumuskan dalam
pasal 2 sampai dengan pasal 12 UU Tipikor.
Kriminologi (ilmu yang mempelajari suatu
kejahatan) melihat potensi penyalahgunaan dan/atau perbuatan melawan hukum
dalam penyelenggaraan jaminan sosial nasional disebabkan motif mencari
keuntungan pribadi. Motif mencari keuntungan pribadi inilah yang menyebabkan
individu atau kelompok tertentu melakukan perbuatan menyimpang. Hal tersebut
dapat diklasifikasi beberapa faktor yang dilakukan oleh beberapa pihak, antara
lain :
a. Peserta
BPJS
Adapun hal yang menyebabkan peserta BPJS
melakukan perbuatan yang menyimpang disebabkan :
·
Prosedur administrasi yang ribet
Prosedur
administrasi yang ribet menyebabkan masyarakat mencari jalan praktis atau mudah
dalam melakukan registrasi sebagai peserta BPJS sehingga melakukan tindakan
yang menyimpang seperti menyuap pihak tertentu agar memperlancar proses
registrasi. Hal inilah yang dimanfaatkan beberapa pihak tertentu untuk mencari
keuntungan pribadi dengan memberikan rayuan mempermudah proses administrasi
dalam registrasi peserta BPJS.
·
Menghindari biaya angsuran yang tinggi
Masyarakat
yang memiliki kemampuan financial yang cukup cenderung melakukan penghindaran
biaya angsuran yang tinggi sebagai peserta BPJS. Tindakan ini memicu Peserta
BPJS melakukan mark up atau pemalsuan
perihal pendapatan pribadinya demi mendapatkan biaya angsuran yang rendah.
·
Rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan
Rendahya
pemahaman masyarakat akan kesehatan menyebabkan masyarakat kurang memperhatikan
kesehatan pribadi. Hal ini juga menyebabkan masyarakat kurang memahami kondisi
kesehatan yang bagaimana yang memerlukan tindakan lanjut dan yang tidak.
Rendahnya kesadaran ini juga menyebabkan banyak
pemberi layanan kesehatan seperti rumah sakit yang memanfaatkannya
dengan salah diagnose atau tindakan
medis yang tidak perlu.
b. Penyedia
layanan kesehatan
Adapun faktor yang menyebabkan adanya
penyimpangan yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan, antara lain :
·
Kurang memahami Etika Profesi sebagai Public Service
Selaku
pelayan masyarakat dibidang kesehatan para penyedia layanan masyarakat
seharusnya memahami dan menjunjung tinggi etika profesinya. Sikap etik yang
buruk cenderung membawa dampak seseorang untuk melakukan tindakan yang
menyimpang seperti melakukan tindakan medis yang tidak perlu bagi seorang
pasien guna memperbanyak layanan atau memasarkan suatu produk layanan
kesehatan.
·
Mencari keuntungan yang besar
Penyedia
layanan kesehatan seperti Klinik, Rumah Sakit cenderung mengejar keuntungan
yang maksimal dalam kegiatan pemberian jasa layanan kesehatan. Tindakan ini
memicu adanya tindakan pemberian keterangan palsu, mark up dokumen klaim atau perbuatan lain yang tidak dibenarkan
secara etika maupun hukum guna mendapatkan kkucuran dana BPJS yang maksimal.
c. Pejabat
BPJS
Faktor yang menyebabkan adanya penyimpangan
yang dilakukan pejabat BPJS adalah :
·
Rendahnya integritas
Buruknya
prilaku moral ataupun integritas pejabat yang menyelenggarakan jaminan social
membawa dampak yang negative dalam penyelenggaraan. Hal ini membawa dampak
dalam proses identifikasi, deteksi dini maupun penindakan bentuk perbuatan
menyimpang dalam penyelenggaraan BPJS. Sepeti apabila ditemukan pemalsuan data
klaim oleh penyedia layanan kesehatan karena buruknya integritas pejabat BPJS
mungkin membiarkan hal tersebut terjadi bahkan ikut serta melindungi
dikarenakan adanya suap atau hadiah yang diberikan kepadanya ataupun memeras
pihak yang melakukan pelanggaran tersebut.
·
Kurang bersinergi dengan lembaga Negara lain
Kurangnya
hubungan antar lembaga menjadi factor menyebabkan tidak terselenggara dengan
baik layanan jaminan social, dimana dalam melakukan penyelenggaraan diperlukan
tindakan maksimal antar lemabaga terkait dalam menyikapi kebijakan yang akan
diterapkan oleh pejabat BPJS.
·
Kurang efektif sosialisasi kebijakan kepada
masyarakat
Kurang
efektifnya sosialisasi atas suatu kebijakan membawa dampak buruk yang
menyebabkan pihak tertentu melakukan tindakan menyimpang. Dimana hal ini
dimanfaatkan dalam mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu dalam
penerapan suatu kebijakan.
d. Pemerintah
Adapun
faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan yang disebabkan pemerintah
adalah :
·
Kurangnnya pemahaman akan fungsi dan peranan
jabatan
Sikap
ini cenderung membawa dampak buruk bagi penyelenggaraan jaminan sosial, dimana
apabila pemerintah paham akan peranan dan fungsi akan jabatannya maka akan
membuat suatu kebijaksanaan dalam penyelenggaraan kebijakan penyelenggaraan
jaminan sosial.
·
Kurangmya perhatian akan efektifitas suatu
kebijakan
Kurangnya
kepedulian pemerintah atas efektifitas kebijakan yang dibuat membawa
dampak buruk dimana adanya pihak
tertentu yang mencari keuntungan dalam kebijakan tersebut. Sebagai contoh dalam
pembelian obat yang digunakan dalam layanan jaminan sosial pemerintah melakukan
system pengadaan obat-obatan dan/atau alat kesehatan menunjuk pihak yang tidak
bertanggung jawab dalam melaksanakan pengadaan.
Faktor tersebutlah yang menyebabkan
terjadinya perbuatan yang menyimpang terjadi dalam penyelenggaraan jaminan
sosial, bahkan menjadi suatu hal yang sistematis, terorganisir, terstruktur dan
massif. Hal inilah menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi pembuat kebijakan
dikarenakan faktor inilah yang membuat banyaknya tindakan korupsi, seperti
kecurangan, penyuapan, penggelapan, penyalahgunaan wewenang dan pilih kasih
dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Dapat
digambarkan tindakan menyimpang yang dilakukan dalam penyelenggaraan jaminan
sosial seperti :
1) Peserta
BPJS memberikan suap atau hadiah kepada Pejabat registerasi BPJS agar
mempermudah proses registerasi;
2) Peserta
BPJS meminta pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan, hal ini bisa memicu
tindakan suap atau pemerasan;
3) Pejabat
BPJS melakukan tindakan pilih kasih maupun nepotisme dalam registrasi peserta
BPJS;
4) Penjabat
registerasi BPJS melakukan pemerasan
kepada peserta BPJS dalam proses registrasi;
5) Seorang
Dokter memberikan pelayanan tidak perlu demi memasarkan produk kesehatan
tertentu;
6) Seorang
Dokter memberikan layanan kesehatan yang berlebih demi mencari keuntungan dari
klaim layanan kesehatan BPJS;
7) Rumah
Sakit, Klinik melakukan mark up
dokumen klaim dana BPJS;
8) Dalam
hal penindakan kecurangan, pejabat penindak menerima suap atau gratifikasi agar
tidak memproses kecurangan;
9) Pejabat
penindakan kecurangan melakukan pemerasan kepada pelaku kecurangan;
10)Pejabat
BPJS melakukan kerjasama dengan pelayan kesehatan melakukan kecurangan dalam
kaitan klaim dana BPJS;
11)Dalam
pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan yang digunakan dalam layanan BPJS
terjadi penyimpangan prosedur sesuai dengan Peraturan Presidem No. 4 Tahun 2015
Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;
Maka dapat disimpulkan jika melihat
kegiatan-kegiatan BPJS seperti perencanaan berupa pengumpulan data-data peserta
BPJS, pengelolaan keuangan berupa investasi dana yang dihimpun dari masyarakat
maupun uang Negara yang dimasukkan dan pemanfaatan keuangan berupa penyaluran
dana BPJS bagi peserta BPJS rentan terjadi tindakan curang, pemerasan,
penggelapan dan pilih kasih yang mana terumuskan dalam pasal 2 sampai dengan
pasal 12 UU Tipikor baik tindakan yang bersifat menyalahgunakan wewenang dan
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian Negara, penyuapan,
pemerasan, gratifikasi, nepotisme dan mencampuradukkan kepentingan.
Dalam Permenkes No. 36 Tahun 2015 diatur
lebih lanjut mengenai beberapa tindakan yang dikategorikan sebagai bentuk
kecurangan antara lain :
Pasal
2
Kecurangan
JKN dapat dilakukan oleh:
a. peserta;
b. petugas
BPJS Kesehatan;
c. pemberi
pelayanan kesehatan; dan/atau
d. penyedia
obat dan alat kesehatan.
Pasal
3
Tindakan
Kecurangan JKN yang dilakukan oleh peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a, meliputi:
a. membuat
pernyataan yang tidak benar dalam hal eligibilitas (memalsukan status
kepesertaan) untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
b. memanfaatkan
haknya untuk pelayanan yang tidak perlu (unneccesary
services) dengan cara memalsukan kondisi kesehatan;
c. memberikan
gratifikasi kepada pemberi pelayanan
agar bersedia memberi pelayanan yang tidak sesuai/tidak ditanggung;
d. memanipulasi
penghasilan agar tidak perlu membayar iuran terlalu besar;
e. melakukan
kerjasama dengan pemberi pelayanan untuk mengajukan Klaim palsu;
f.
memperoleh
obat dan/atau alat kesehatan yang diresepkan untuk dijual kembali; dan/atau
g. melakukan
tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf f.
Pasal
4
Tindakan
Kecurangan JKN yang dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b, meliputi:
a. melakukan
kerjasama dengan peserta dan/atau fasilitas kesehatan untuk mengajukan Klaim
yang palsu;
b. memanipulasi
manfaat yang seharusnya tidak dijamin agar dapat dijamin;
c. menahan
pembayaran ke fasilitas kesehatan/rekanan dengan tujuan memperoleh keuntungan
pribadi;
d. membayarkan
dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan; dan/atau
e. melakukan
tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf d.
Pasal
5
(1) Tindakan
Kecurangan JKN yang dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan di :
a. FKTP;
dan
b. FKRTL.
(2) Tindakan
Kecurangan JKN yang dilakukan pemberi pelayanan
kesehatan di FKTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, meliputi:
a. memanfaatkan
dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. memanipulasi
Klaim pada pelayanan yang dibayar secara nonkapitasi;
c. menerima
komisi atas rujukan ke FKRTL;
d. menarik
biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam biaya kapitasi dan/atau
nonkapitasi sesuai dengan standar tarif yang ditetapkan;
e. melakukan
rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
tertentu; dan/atau
f.
tindakan
Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf e.
(3) Tindakan
Kecurangan JKN yang dilakukan pemberi pelayanan kesehatan di FKRTL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. penulisan
kode diagnosis yang berlebihan/upcoding;
b. penjiplakan
klaim dari pasien lain/cloning;
c. klaim
palsu/phantom billing;
d. penggelembungan
tagihan obat dan alkes/inflated bills;
e. pemecahan
episode pelayanan/services unbundling or
fragmentation;
f.
rujukan
semu/selfs-referals;
g. tagihan
berulang/repeat billing;
h. memperpanjang
lama perawatan/prolonged length of stay;
i.
memanipulasi
kelas perawatan/type of room charge;
j.
membatalkan
tindakan yang wajib dilakukan/cancelled
services;
k. melakukan
tindakan yang tidak perlu/no medical
value;
l.
penyimpangan
terhadap standar pelayanan/standard of
care;
m. melakukan
tindakan pengobatan yang tidak perlu/unnecessary
treatment;
n. menambah
panjang waktu penggunaan ventilator;
o. tidak
melakukan visitasi yang seharusnya/phantom
visit;
p. tidak
melakukan prosedur yang seharusnya/phantom
procedures;
q. admisi
yang berulang/readmisi;
r. melakukan
rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
tertentu;
s. meminta
cost sharing tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
t.
tindakan
Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf s.
(4) Penulisan
kode diagnosis yang berlebihan/upcoding
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan pengubahan kode diagnosis
dan/atau prosedur menjadi kode yang memiliki tarif yang lebih tinggi dari yang
seharusnya.
(5) Penjiplakan
Klaim dari pasien lain/cloning sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Klaim yang dibuat dengan cara menyalin
dari Klaim pasien lain yang sudah ada.
(6) Klaim
palsu/phantom billing sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan Klaim atas layanan yang tidak pernah
diberikan.
(7) Penggelembungan
tagihan obat dan alkes/inflated bills sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
d merupakan Klaim atas biaya obat dan/atau alat kesehatan yang lebih besar dari
biaya yang sebenarnya.
(8) Pemecahan
episode pelayanan/services unbundling or
fragmentation sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e merupakan Klaim
atas dua atau lebih diagnosis dan/atau
prosedur yang seharusnya menjadi satu paket pelayanan dalam Episode yang sama
atau menagihkan beberapa prosedur secara terpisah yang seharusnya dapat
ditagihkan bersama dalam bentuk paket pelayanan, untuk mendapatkan nilai Klaim
lebih besar pada satu Episode perawatan pasien.
(9) Rujukan
semu/selfs-referals sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf f merupakan Klaim atas biaya pelayanan akibat
rujukan ke dokter yang sama di fasilitas kesehatan lain kecuali dengan alasan
fasilitas.
(10) Tagihan
berulang/repeat billing sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf g merupakan Klaim yang diulang pada kasus yang
sama.
(11) Memperpanjang
lama perawatan/prolonged length of stay
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
h merupakan Klaim atas biaya pelayanan kesehatan yang lebih besar akibat
perubahan lama hari perawatan inap.
(12) Memanipulasi
kelas perawatan/type of room charge
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i merupakan Klaim atas biaya pelayanan
kesehatan yang lebih besar dari biaya kelas perawatan yang sebenarnya.
(13) Membatalkan
tindakan yang wajib dilakukan/cancelled
services sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j merupakan Klaim atas
diagnosis dan/atau tindakan yang tidak jadi dilaksanakan.
(14) Melakukan
tindakan yang tidak perlu/no medical
value sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf k merupakan Klaim atas
tindakan yang tidak berdasarkan kebutuhan atau indikasi medis.
(15) Penyimpangan
terhadap standar pelayanan/standard of
care sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf l merupakan Klaim atas
diagnosis dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
(16) Melakukan
tindakan pengobatan yang tidak perlu/unnecessary
treatment sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf m merupakan Klaim atas
tindakan yang tidak diperlukan.
(17) Menambah
panjang waktu penggunaan ventilator
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf n merupakan Klaim yang lebih besar
akibat penambahan lama penggunaan ventilator yang tidak sesuai dengan
kebutuhan.
(18) Tidak melakukan
visitasi yang seharusnya/phantom visit
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
o merupakan Klaim atas kunjungan pasien palsu.
(19) Tidak
melakukan prosedur yang seharusnya/phantom
procedures sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf p merupakan Klaim atas
tindakan yang tidak pernah dilakukan.
(20) Admisi
yang berulang/readmisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf q merupakan
Klaim atas diagnosis dan/atau tindakan dari satu Episode yang dirawat atau
diklaim lebih dari satu kali seolah-olah lebih dari satu Episode.
Pasal
6
Tindakan
Kecurangan JKN yang dilakukan penyedia obat dan alat kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:
a. tidak
memenuhi kebutuhan obat dan/atau alat kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. melakukan
kerjasama dengan pihak lain mengubah obat dan/atau alat kesehatan yang
tercantum dalam e-catalog dengan harga tidak sesuai dengan e-catalog; dan
c. melakukan
tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a dan huruf b.
Perbuatan
kecurangan maupun perbuatan yang melawan hukum berimplikasi kepada adanya
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak tertentu. Dimana dalam tindak
pidana korupsi dilakukan secara sistematis, terorganisir, terstruktur dan
massif. Oleh karenanya sebagaimana teori sebab akibat secara kriminologi dapat
dilihat sebagai berikut : orang yang melakukan suatu tindakan kecurangan akan
berusaha menutupi perbuatan tersebut dengan berbagai upaya termasuk suap dan
gratifikasi.
Untuk
melihat indikasi tindak pidana korupsi, sebelumnya akan kita pahami yang
dimaksud tindak pidana korupsi menurut para ahli :
a.
Pendapat
Ahli
Beberapa
Ahli Hukum merumuskan yang dimaksud tindak pidana korupsi, antara lain :
·
Henry
Campbell Black
“an
act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty
and the rights of other”
Suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak
resmi dengan menggunakan hak-hak dari pihak lain, yang secara salah dalam
menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan kewajibannya dan
hak-hak dari pihak lain.
·
Juniadi
Suwartojo
Tingkah
laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku
dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui
proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau
jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang
atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau
jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehing langsung
atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.
·
Philip
Tingkah
laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas
publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang
yang tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi seperti keluarga
koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor.
·
Jeremy
Pope
Penyalahgunaan
kekuasaan dan kepercayaan untuuk kepentingan pribadi atau perilaku tidak
mematuhi prinsip mempertahankan jarak (keeping
disatance).
·
Mohtar
Mas’oed
Perilaku
yang menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak
untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga
dekat atau klik.
·
Alfiler
Suatu
perilaku yang dirancang yang sesungguhnya merupakan suatu perilaku yang
menyimpang dari norma-norma yang diharapkan yang sengaja dilakukan untuk
mendapatkan imbalan material atau penghargaan lainnya.
·
Prof.
Subekti
Suatu
tindakan perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara
atau perekenomian negara.
·
Jacob
Van Klaveren
Suatu
hal apabila seorang abdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap
kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaanya
diusahakan pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
Berdasarkan
Pendapat Ahli Hukum diatas dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana Korupsi mempunyai beberapa bentuk,
yaitu:
1) Penyuapan
(bribery)
Sebuah
perilaku memberi dan menerima suap, baik itu berupa uang ataupun barang.
2) Penggelapan
(Embezzlement)
Perbuatan
penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu
yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya
alam tertentu.
3)
Penipuan atau kecurangan (Fraud)
Perbuatan
kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan. Yang didalamnya termasuk manipulasi
atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil
keuntungan-keuntungan tertentu.
4)
Pemerasan (Extortion)
Perbuatan meminta uang atau sumber
daya lainnya secara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu
oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Yang dilakukan oleh mafia lokal dan
regional.
5) Pilih
Kasih (Favouritism)
Mekanisme
kekuasaan yang disalah gunakan yang berimplikasi kepada tindakan privatisasi
sumber daya, melanggar hukum yang ada dan merugikan negara. Yang sifatnya serba
kerahasiaan, walaupun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
Melihat
dari apa yang disampaikan diatas maka indikasi tindak pidana korupsi akan
cenderung dilakukan dalam tindakan kecurangan dalam penyelenggaraan BPJS
Kesehatan.
IV.
Aturan
Perundang-Undangan untuk penanggulangan error
(mismatch), fraud, Korupsi dan Gratifikasi
1.
UU
BPJS
Pasal 54
Anggota Dewan
Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l,
atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Refer
to Pasal 52
Anggota
Dewan Pengawas dan anggota Direksi dilarang:
a. memiliki hubungan
keluarga sampai derajat ketiga antar anggota Dewan Pengawas, antar anggota
Direksi, dan antara anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi;
b. memiliki bisnis
yang mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan Sosial;
c. melakukan
perbuatan tercela;
d. merangkap jabatan
sebagai anggota partai politik, pengurus organisasi masyarakat atau organisasi
sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan program Jaminan
Sosial, pejabat struktural dan fungsional pada lembaga pemerintahan, pejabat di
badan usaha dan badan hukum lainnya;
e. membuat atau
mengambil keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan;
f.
mendirikan
atau memiliki seluruh atau sebagian badan usaha yang terkait dengan program
Jaminan Sosial;
g. menghilangkan atau
tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu laporan dalam buku
catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan
transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
h. menyalahgunakan
dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
i.
melakukan
subsidi silang antarprogram;
j.
menempatkan
investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang
tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;
k. menanamkan
investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial;
l.
membuat
atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam
laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi
BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau
m. mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau
Dana Jaminan Sosial.
Pasal 55
Pemberi Kerja yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Refer to Pasal 19
(1) Pemberi Kerja
wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan
menyetorkannya kepada BPJS.
(2) Pemberi Kerja
wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
Lengkap terkait Pidana Korupsi :
2.
Permenkes
36 Tahun 2015
Pasal
28
(1) Dalam
rangka pembinaan dan pengawasan Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan sanksi administratif
bagi fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan penyedia obat dan alat
kesehatan.
(2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran
lisan;
b. teguran
tertulis; dan/atau
c. perintah
pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak yang dirugikan.
(3) Dalam
hal tindakan Kecurangan JKN dilakukan oleh pemberi pelayanan atau penyedia obat
dan alat kesehatan, sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat ditambah dengan denda paling banyak sebesar 50% dari jumlah pengembalian
kerugian akibat tindakan Kecurangan JKN.
(4) Dalam
hal tindakan Kecurangan JKN dilakukan oleh tenaga kesehatan, sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diikuti dengan pencabutan surat izin praktik.
(5) Sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
29
(1) Dalam
hal tindakan Kecurangan JKN dilakukan
oleh petugas BPJS Kesehatan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi kepada BPJS
untuk memberikan sanksi administratif kepada petugas BPJS Kesehatan yang
melakukan Kecurangan JKN.
(2) Rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran
lisan;
b. teguran
tertulis;
c. pemberhentian
dari jabatan;
d. pemecatan;
dan/atau
e. perintah
pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak yang dirugikan
3.
UU
Tipikor
UU Tipikor tidak mengatur secara jelas
terminologi suatu perbuatan yang dimaksud sebagai tindak pidana korupsi. Namun,
dalam UU Tipikor merumuskan 7 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi ke dalam 12 pasal, antara lain :
1. Kerugian keuangan negara
UU No.
31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur
"dapat merugikan keuangan negara" seharusnya diartikan merugikan
negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan
otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut
berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Hal
tersebut juga dapat kita lihat dalam penjelasan 2 ayat (1) UU No. 31/1999
yang menyatakan kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian
negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan
yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Dalam
UU Tipikor, perbuatan yang menimbulkan kerugian Negara diatur dalam pasal 2
(melawan hukum) dan pasal 3 (menyalahgunakan wewenang). Namun terjadi
perkembangan dalam pemberlakuan pasal ini dimana melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan kata “dapat merugikan
keuangan Negara” dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD
dan tidak mengikat. Sehingga dalam tindak pidana korupsi haruslah harus secara
nyata (in concreto) terjadi kerugian
keuangan negara.
2. Suap-Menyuap
Untuk
mengetahui pengertian suap- menyuap dapat kita lihat dalam rumusan pasal 2 dan
pasal 3 Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap :
Pasal
2
"memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang
itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan
dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"
Pasal
3
"menerima sesuatu atau janji,
sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum"
Dalam
UU Tipikor dirumuskan perbuatan suap antara lain : menyuap pegawai negeri
(pasal 5 ayat 1 huruf a dan b), memberi hadiah kepada pegawai karena jabatannya
(pasal 13), pegawai negeri menerima suap (pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a dan
b), pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya (pasal
11), menyuap hakim (pasal 6 ayat 1 huruf a), menyuap advokat (pasal 6 ayat 1
huruf b), hakim dan advokat menerima suap (pasal 6 ayat 2), hakim menerima suap
(pasal 12 huruf c) dan advokat menerima suap (pasal 12 huruf d).
3. Penggelapan dalam jabatan
Penggelapan
dalam jabatan sebagaimana dimaksud dari rumusan pasal- pasal dalam UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 merujuk kepada Penggelapan dengan
Pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu
berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah
(Pasal 374 KUHP).
Perbuatan
yang dikategorikan sebagai penggelapan dalam jabatan dalam UU Tipikor, antara
lain : Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan (pasal 8),
Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (pasal 9),
Pegawai negeri merusak bukti (pasal 10 huruf a), Pegawai negeri membiarkan
orang lain merusak bukti (pasal 10 huruf b) dan Pegawai
negeri membantu orang lain merusak bukti (pasal 10 huruf c).
4. Pemerasan
Berdasarkan
pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 pemerasan adalah
tindakan/ perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Bentuk
perbuatan pemerasan ini dalam UU Tipikor dirumuskan sebagai berikut : Pegawai
negeri memeras (pasal 12 huruf e dan g) dan Pegawai negeri memeras pegawai
negeri yang lain (pasal 12 huruf f).
5. Perbuatan curang
Untuk
memahami unsur perbuatan curang dalam tindak pidana korupsi, mari kita lihat
tumusan pasal 7 dan pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001.
Pasal 7 ayat
(1) huruf a samai dengan huruf d
a. Pemborong,
ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangungan
yang pada waktu menyerahkan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan
perang;
b. Setiap
orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. Setiap
orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia
dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. Setiap
orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Pasal 7 ayat
(2)
"Bagi orang yang
menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)"
Pasal 12
huruf h :
"Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang
di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan"
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Benturan
kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah situasi di mana
seorang PN yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas
setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi
kualitas dan kinerja yang seharusnya. Faktor
Penyebab Konflik Kepentingan, antara lain : kekuasaan dan kewenangan
pegawai negeri, perangkapan jabatan, hubungan afiliasi, gratifikasi, kelemahan
sistem organisasi, kepentingan pribadi.
Perbuatan
ini dirumuskan sebagai berikut : Pegawai negeri turut serta dalam
pengadaan yang diurusnya (pasal 12 huruf i).
7. Gratifikasi
Tindak
pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:
(1) Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan:
a.
Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.
Yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Pasal
12 B ini dikecualikan apabila ketentuan pasal 12 C dilaksanakan yaitu :
(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)Penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.
(3)Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
(4)Ketentuan
mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
V.
Kesimpulan
dan Saran
1)
Kesimpulan
Defisitnya BPJS Kesehatan bukan semata-mata
disebabkan oleh adanya tindakan kecurangan namun karena penerapan kebijakan
yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UU SJSN.
Dimana penyelenggaraan jaminan social hanya sebatas kepada tindakan kuratif;
Kurang bersinerginya BPJS dengan lembaga lain
dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan bersinergi
dengan lembaga lain diharapkan BPJS mampu melaksanakan jaminan social yang
memberi dampak positif;
Terjadinya tindakan yang mengakibatkan kerugian Negara dalam
penyelenggaraan jaminan social disebabkan kurang awareness atau kepedulian instansi terkait untuk melakukan
pembimbingan, pengawasan maupun penindakan apabila terjaid pelanggaran terlebih
mengakibatkan kerugian keuangan Negara;
2)
Saran
beberapa
kebijakan yang dapat diterapkan oleh BPJS dalam menangani permasalahan defisit
pengelolaan dana BPJS, antara lain :
- BPJS
konsisten menggunakan paradigma sehat dalam menyusun prioritas anggaran
kesehatan. Kenaikan anggaran pengelolaan dana BPJS tiap tahun harus selalu
meningkatkan presentase anggaran untuk promotif dan preventif, bukan
kuratif.
- BPJS
mempertajam Stranas PPK (Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi) sehingga aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat
menyentuh jantung korupsi di semua aspek kegiatan penyelenggaraan jaminan
sosial baik berupa perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan.
- Adanya
kebijakan nasional pencegahan korupsi kesehatan yang menyasar pencegahan
korupsi pengadaan barang dan jasa serta fraud dalam pelayanan kesehatan.
- Perlu adanya kebijakan open contracting yakni membuka semua dokumen pengadaan (KAK, HPS,
Spesifikasi Teknis, Kontrak, dan Berita Acara Serah Terima Barang) pada
publik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku (Litelature)
Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan
Komentar, Jakarta, Pradnya Paramita, 1995.
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan
Pemberantasan, Jakarta, Rajawali Pers, 2012.
Henry
Campbell Black, Black’s Law Dictionary,
Sixth Edition, St. Paul Min, West Publishing Co.
Philipus M Hadjon, Discretionary Power dan
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada
Seminar Nasional “Aspek Pertanggung jawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari
Tindak Pidana Konsep”, Semarang, 2004.
Phillipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6
Tahun XII, Jakarta, 1997.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, 1968.
Shahriari,
Institutional Issues in Informal Health
Payments in Poland, Wahington DC, 2001.
2.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-undang
RI No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap;
Undang-Undang
RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
selanjutnya dirubah menjadi Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang
RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
Undang-Undang
RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
Permenkes
No. 36 Tahun 2015 Tentang Pencegahan
Kecurangan (Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem
Jaminan Sosial Nasional;
3.
Internet
Komentar