Fraud, Korupsi dan Gratifikasi penyelenggaraan jaminan kesehatan

Sharing Hukum


I.          Gambaran Umum Defisit BPJS Kesehatan
a.      Berbagai Negara
1)  Belanda
Pemerintah Belanda merancang agar seluruh warganya memperoleh jaminan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimumnya dengan menerapkan program asuransi kesehatan sosial yang dikelompokkan menjadi dua yaitu yang berlaku bagi seluruh penduduk (national scheme) dan bagi kelompok tenaga kerja, yang kemudian membuka peluang jaminan sosial sesuai kebutuhan atau kemampuan tenaga kerja. Di sana terdapat 20 lembaga atau yayasan non-profit penyelenggara program asuransi kesehatan sosial sehingga tenaga kerja dapat memilih satu diantara mereka. Lembaga atau sichting tersebut diperkenankan membuka usaha untuk asuransi kesehatan swasta, bahkan rumah sakit juga bersifat non-profit.
Belanda memiliki undang-undang yang mengatur pengaturan tarif rumah sakit yaitu “The Health Care Rates Act”. Tarif rumah sakit ditetapkan berdasarkan negosiasi rumah sakit dan lembaga asuransi kesehatan serta musti mendapat persetujuan “The Central Health Care Rates Boards”. Penyelenggaran jaminan sosial ini juga mengakibatkan Pemerintah untuk menganggarkan dana yang sangat besar, sehingga di masa akan datang pemerintah Belanda akan berupaya melakukan langkah-langkah strategis guna mengendalikan biaya pelayanan kesehatan agar tidak melampaui angka 1,3% per tahun, misalnya dengan mengurangi benefits package bagi peserta asuransi kesehatan sosial, khususnya pelayanan gigi dan fisioterapi serta mengendalikan dana obat-obatan dengan menetapkan harga maksimum sesuai standar Eropa.
2)  India
Kualitas pembiayaan kesehatan memang menjadi satu hal penting bagi negara berkembang, tak terkecuali India. Pemerintah India menganggarkan Rs 103.000 atau sekitar 5,2% dari GDP. Pemerintah India melaksanakan jaminan sosial ke dalam lima bentuk pembiayaan kesehatan yaitu private insurance, sosial insurance, employer-provider cover, community insurance schemes dan government healthcare spend. Namun pada kenyataannya, lebih dari 60% masyarakat India yang masih tergolong miskin menerapkan sistem out of pocket spending, di mana pembiayaan kesehatan tidak dianggarkan sebelumnya dan menjadikannya tidak efisien.
3)     Amerika Serikat
Amerika menjadi satu-satunya negara yang menerapkan asuransi kesehatan komersial bagi rakyatnya, di mana mereka bebas menentukan pilihan, termasuk bebas tidak berasuransi. Meski akhirnya jumlah perusahaan asuransi kesehatan menjamur namun biaya operasional sangat besar, premi menukik tajam setiap tahun, tingginya unnecessary utilization karena sistem pembiayaan fee for services maupun mutu pelayanan kesehatan yang meragukan meski penggunaan teknologi canggih bukan lagi hal baru. Tingginya biaya kesehatan yang mencapai 12% dari GNP (Gross National Product) menyebabkan biaya kesehatan menjadi beban berat secara ekonomis. Biaya produksi barang dan jasa menjadi tinggi karena tingginya biaya komponen kesehatan. Langkah strategis pun dibuat. Tahun 1973 Pemerintah federal AS menerbitkan Health Maintenance Organization (HMO-ACT), sebuah undang-undang yang bermaksud mengerem pertumbuhan conventional health insurance. Tahun 1984 Ronald Reagan menetapkan pembayaran berdasarkan DRG’s (Diagnostic Related Group’s) untuk program medicare dan medicaid. Kemudian tahun 1992, Presiden Clinton melancarkan “Health Care Reform” dalam upaya memenuhi janji kampanyenya, karena di Amerika isu kesehatan memang paling laku dijual.
Pada masa pemerintahan Barrack Obama, penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan melalui kebijakan The Patient Protection and Affordable Care Act of 2010 (ACA) atau yang lebih dikenal dengan Obama Care, namun kebijakan jaminan sosial ini membawa Amerika dalam situasi shutdown sehingga memaksa pemerintah melakukan penutupan kantor pemerintah 18 kali dalam 30 tahun terakhir.
Ini menjadi buntut perdebatan politik antara Partai Republik yang menguasai Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative) dan Demokrat yang menguasai Senat, dimana posisinya lebih tinggi dari DPR. Karena perbedaan pendapat antar dua majelis atas pengeluaran pemerintah federal, Kongres AS gagal melewati anggaran sebelum tahun fiskal yang berakhir pada 30 September 2013.
Berlanjut pada pemerintahan Presiden Donald Trump yang juga mencoba menghentikan kebijakan jaminan sosial nasional tersebut dalam mengatasi kondisi perekonomian Amerika yang terus melemah, dimana Amerika harus menganggarkan dana yang besar setiap tahunnya dalam menutupi defisit pengelolaan kebijakan Obama Care. Namun dalam pergolakan politik pada kongres Amerika, Partai Demokrat tetap bersikukuh untuk mempertahankan kebijakan jaminan sosial nasional tersebut, yang mana paket politik yang ditawarkan Donald Trump berupa jaminan sosial sebagai pengganti kebijakan Obama Care dianggap tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengatasi keadaan perekonomian.
b.     Indonesia
Sejak dibentuk pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan kerap mengalami deficit dimana hal ini dapat dilihat dari statistik yang terjadi dari 2014 sampai dengan 2016. Kondisi ini memaksa Pemerintah melakukan suntikan sejumlah dana setiap tahunnya, yakni : 
·         Pada 2014 defisit mencapai Rp 3,3 triliun, yang selanjutnya Pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp. 500 miliar;
·         Pada 2015 defisit meningkat menjadi Rp 5,7 triliun, yang selanjutnya Pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp. 5 triliun; dan
·         Pada 2016 desifit mencapai Rp 9,7 triliun, yang selanjutnya kembali Pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp. 6,8 triliun;
Sejatinya Pemerintah sudah menanggung iuran peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) BPJS Kesehatan. Berdasarkan data Direktorat Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran JKN dalam APBN 2016 sebesar Rp 37,79 triliun, naik dari tahun lalu yang sebesar Rp 30,77 triliun.
II.          Penyebab Defisit Kesehatan
a.   Indonesia
Beberapa faktor yang menjadi penyebab defisitnya pengelolaan dana jaminan sosial, antara lain :
·         data BPJS kesehatan yang bermasalah;
·         kecurangan pelayanan kesehatan;
·         mahalnya harga obat dan adanya kartel obat;
·         korupsi dana jaminan kesehatan nasional;
·         pengelolaan dana yang dihimpun yang tidak menguntungkan;
Untuk mengatasi salah faktor defisitnya dana pengelolaan BPJS yaitu kecurangan dalam pemanfaatan dana BPJS dalam kegiatan penyelenggaraan jaminan sosial, Menteri Kesehatan RI menerbitkan Permenkes 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Fraud dalam jaminan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapat keuntungan finansial dari program JKN dalam SJSN melalui perbuatan curang yang tidak sesuai ketentuan. Dalam peraturan menteri ini, sudah mencakup kegiatan-kegiatan seperti membangun kesadaran, pelaporan, deteksi, investigasi, dan pemberian sanksi.
Maraknya tindakan korupsi sebagai salah satu akibat adanya tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan jaminan sosial sebagai salah satu faktor menyebabkan defisitnya pengelolaan dana BPJS dikarenakan perbuatan tersebut dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif.
Potensi tindak pidana korupsi muncul dikarenakan :
·         tenaga medis bergaji rendah;
·         adanya ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban layanan kesehatan;
·         penyedia layanan tidak memberi insentif yang memadai;
·         kekurangan pasokan peralatan medis;
·         inefisiensi dalam sistem;
·         kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan; dan
·         faktor budaya;
factor lain yang menjadi permasalahan mendasar dalam penanganan masalah kesehatan masyarakat melalui program jaminan kesehatan masyarakat adalah selama ini tindakan yang dilakukan hanya berkisar pada penanganan kuratif (penanggulangan ketika sakit) hal inilah yang menjadikan membesarnya biaya pelayanan kesehatan masyarakat. Seharusnya dalam mengatasi kesehatan masyarakat melalui jaminan kesehatan memberikan beberapa tindakan antara lain :
Promosi Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan terus dilakukan dengan sasaran komunitas atau perorangan, terlepas apakah komunitas atau perorangan tersebut ada dalam lingkungan kesehatan berisiko. Ini termasuk misalnya PHBS, memakan makanan bergizi, olahraga, membagi waktu hidup secara serasi (misalnya untuk rekreasi dan bersosialisasi).
Upaya preventif
Kegiatan preventif dilakukan karena ada risiko kesehatan. Misalnya, karena ada virus campak di sekitar penduduk, maka anak-anak diberikan vaksinasi campak. Seperti kejadian asap di beberapa Provinsi di Indonesia beberapa waktu lalu, maka di wilayah asap tersebut penduduk dianjurkan menggunakan masker.  
Program surveilans
Kegiatan surveilans dilakukanuntuk menjaring (skrining) apakah ada penduduk yang terpapar pada risiko kesehatan yang sudah menjadi sakit. Tujuaanya adalah untuk menemukan kasus tersebut sedini mungkin (diangnosis dini), kemudian melakukan pengobatan secepat mungkin (pengobatan segera  atau “prompt treatment”). Penimbangan balita untuk menemukan balita kurang gizi, IVA untuk mendeteksi Ca- servix pada tingakt dini, prakter “SADAR” untuk mendeteksi Ca-payudara, adalah contoh-contoh surveilans penyakit.
Pengobatan (kuratif)
Kegiatan kuratif adalah pelayanan pengobatan untuk memulihkan orang sakit dan meminimalisasi disabilitas/kecacatan. Pengobatan bisa dilakukan oleh tenaga non- spesialistik (pengobatan primer), oleh tenaga spesialis (pengobatan sekunder) dan oleh tenaga sub-spesialisasi (pengobatan tertier).
Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi adalah upaya memulihkan kapasitas seseorang sesudah sembuh dari penyakit tetapi mengalami disabilitas atau ketidak mampuan. Kegiatan rehabilitasi termasuk di dalamnya fisioterapi, terapi okupasi dan sosial bagi penderita jiwa baru sembuh.
UKM dan UKP
Secara umum, upaya kesehatan dibagi 2 (dua) kelompok, yaitu (i) Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), dan (ii) Upaya Kesehatan Perorangan (UKP).
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) a. Sasarannya adalah komunitas atau kelompok masyarakat b. Intervensinya mengutamakan kegiatan promotif, preventif dan surveilans c. Intervensinya dilakukan melalui penggerakan (i) mesin sosial (kelompok masyarakat kader, tokoh masyarakat, dan (ii) mesin birokrasi (misalnya bupati, camat, kepala desa). d. Lebih bersifat “public good” e. Pembiayaan menjadi tanggung jawab pemerintah
 Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) a. Sasarannya adalah perorangan b. Intervensinya   mengutamakan pada   pengobatan   dan   rehabilitasi   atau pelayanan promotif dan preventif yang bersifat perorangan c. Intervensinya   dilakukan   melalui   fasilitas   pelayanan   kesehatan   (primer, sekunder, tertier) d. Lebih bersifat “private good” e. Pembiayaan menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah
 UKM dan UKP bukan dan tidak boleh diperlakukan sebagai dikotomi. Keduanya menempatkan posisi saling berkaitan satu sama lain. Karena dalam pelaksanaannya, Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) adalah salah satu upaya untuk menekan besarnya potensi biaya yang harus dikeluarkan untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Secara rasional, dapat dideskrpsikan penggunaan pembiayaan yang cukup untuk pelayanan UKM seperti biaya posyandu untuk imunisasi campak di desa-desa, biaya sosialisasi kesehatan reproduksi remaja di sekolah, sosialisasi terkait Penyakit Tidak Menular baik di perkotaan maupun pedesaan dan upaya kesehatan masyarakat lainnya akan mampu mengurangi segala risiko penyakit yang pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Hal inilah sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN pasal 21 ayat (1) yang menyatakan :
Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habispakai yang diperlukan.
b.   Berbagai Negara
menurut Cressey (1973), terdapat 3 faktor yang pasti muncul bersamaan ketika seseorang melakukan Fraud. Pertama adalah tekanan yang merupakan faktor pertama yang memotivasi seseorang melakukan tindak kriminal Fraud. Kedua adalah kesempatan yaitu situasi yang memungkinkan tindakan kriminal dilakukan. Ketiga adalah rasionalisasi, yaitu pembenaran atas tindakan kriminal yang dilakukan.
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sebuah organisasi profesional yang bergerak dibidang pemeriksaan atas kecurangan dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan telah memiliki cabang di Indonesia, mengklasifikasikan Fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi mengenai hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan sebagai berikut :
1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation). Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/ pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk Fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/ dihitung (defined value).
2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement). Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing. 3. Korupsi (Corruption). Jenis Fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisma). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/ konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion). Secara umum, Fraud adalah sebuah tindakan kriminal menggunakan metode-metode yang tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari orang lain (Merriam-Webster Online Dicionary). Secara khusus, Fraud dalam jaminan kesehatan didefinisikan sebagai sebuah tindakan untuk mencurangi atau mendapat manfaat program layanan kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya (HIPAA, 1996).
III.          Indikasi Terjadinya error (mismatch), fraud, Korupsi dan Gratifikasi  dalam BPJS
Dalam penyelenggaraan jaminan sosial  BPJS Kesehatan mempunyai payung hukum yaitu :
Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
Berdasarkan ketentuan tersebut sistem jaminan sosial nasional dilakukan oleh BPJS, yang mana adanya transformasi pengelola jaminan sosial yang lama yaitu : PT. Askes dan PT. Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS merupakan organ pemerintah sehingga dalam melaksanakan kegiatan jaminan sosial sebagaimana disebutkan dalam UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS haruslah tunduk pada ketentuan UU RI No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau dalam bahasa asing disebut “good governance” dalam menyelenggarakan kegiatan jaminan sosial.
Dewasa ini, trend korupsi menjadi hal yang menyita perhatian, termasuk dalam pengelolaan dana jaminan sosial yang dilaksanakan BPJS. Serangkaian kegiatan jaminan sosial yang dilaksanakan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi. Sebelum masuk lebih jauh rangkaian tindak pidana korupsi yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan dana jaminan sosiasl, berikut kami sertakan contoh kasus-kasus korupsi dalam penyelenggaraan jaminan sosial yang pernah terjadi, antara lain :
Korupsi Bupati Subang dalam perkara BPJS
TEMPO.CO, JakartaKomisi pemberantasan Korupsi menahan Bupati Subang Ojang Sohandi dalam kasus suap jaksa penuntut umum yang menangani perkara kasus anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tahun 2014. Bupati Ojang Sohandi ditahan selepas pemeriksaan yang digelar Selasa, 12 April 2016, pukul 16.00 WIB.
Ojang keluar dari ruang pemeriksaan dengan mengenakan rompi oranye. Ditemui wartawan, Ojang menyampaikan permintaan maafnya, karena terseret kasus suap kasus penyalahgunaan anggaran BPJS tahun 2014.
Pada kesempatan itu, Ojang juga menyampaikan pesannya pada warga Subang. "Tetap jaga kebersamaan dan kekompakan, mudah-mudahan Subang menjadi kabupaten yang maju," katanya. Ojang ditahan di Rumah Tahanan Kepolisian Resor Jakarta Timur.
Sedangkan, dua tersangka lain yang terlibat, yaitu Devianti Rochaeni (DVR), selaku Jaksa Pidana Khusus Kejati Jawa Barat, ditahan di Rutan KPK, dan Lenih Marliani, istri terdakwa Jajang Abdul Holik (JAH) mantan Kepala Bidang Pelayanan Dinas Kesehatan, ditahan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Sementara itu, Fahri Nurmallo (FN) selaku ketua tim JPU Kejati Jawa Barat saat ini diketahui berada di Semarang, atau belum dibawa KPK ke Jakarta. FN yang merupakan ketua tim JPU yang menangani kasus terdakwa, sudah dimutasi dari Kejati Jawa Barat ke Kejati Jawa Tengah di Semarang.
Mereka terlibat dalam dugaan suap kasus penyalahgunaan anggaran BPJS tahun 2014. Total barang bukti suap yang disita adalah uang tunai senilai Rp 913 juta, yang ditemukan ketika operasi tangkap tangan di kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan kantor Kodam Jaya Subang, Senin, 11 April lalu.

Kasus Korupsi Dana BPJS di Singkawang
Jakarta, HanTer - Kejaksaan Negeri Singkawang telah menangani sebanyak empat kasus dugaan korupsi sepanjang tahun 2016.
 "Ada empat kasus dugaan korupsi yang kita tangani sepanjang tahun 2016. Semuanya saat ini sudah naik ke tingkat penyidikan," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Singkawang, M Ravik di Jakarta, Senin (12/12/2016).
Ravik menyebutkan, empat kasus dugaan korupsi yang dimaksud adalah, pertama, kasus dugaan korupsi BPJS. Yang mana dalam kasus ini, terjadi kerja sama antara RSU Harapan Bersama dan BPJS Singkawang. "Dalam kasus dugaan korupsi ini kita telah menyelamatkan uang negara sekitar Rp823.227.000," ungkapnya.
Menurutnya, penyidikan kasus dugaan korupsi ini masih terus berjalan. Pihaknya juga telah melakukan pemeriksaan kepada 20 orang saksi. Dan mungkin dalam waktu dekat, pihaknya juga akan melakukan pemeriksaan kepada 10 orang pasien BPJS. Ravik menilai, jika kasus BPJS merupakan kasus yang baru. Untuk itu, diperlukan ekstra hati-hati dalam penanganannya.

Berdasarkan contoh kasus korupsi dalam penyelenggaraan jaminan sosial diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial sangatlah rentan akan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi. Kondisi ini disebabkan banyaknya aspek kegiatan yang harus dilaksanakan dalam kegiatan tersebut antara lain : penghimpunan dana masyarakat, pengelolaan dana masyarakat, pengelolaan keuangan Negara (berupa bantuan, pinjaman, sumber permodalan dll), pemanfaatan pengelolaan dana dan lain-lain yang sangat rentan terjadinya korupsi.
Salah satu perbuatan yang berpotensi dilakukan dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah fraud atau Kecurangan. Fraud (Kecurangan) dalam sektor kesehatan dapat dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam program JKN mulai dari peserta BPJS Kesehatan, penyedia layanan kesehatan, BPJS Kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan. Uniknya masing-masing aktor ini dapat bekerjasama dalam aksi Fraud atau saling mencurangi satu sama lain.
Kementerian Kesehatan mendeteksi adanya tindak penyimpangan atau fraud dalam skema layanan Jaminan Kesehatan Nasional. Ada sekitar 1 juta klaim yang diterima BPJS Kesehatan ditengarai menyimpang sehingga merugikan negara. Di seluruh Indonesia, hingga pertengahan tahun 2015 terdeteksi potensi fraud dari 175.774 klaim Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp 440 miliar. Potensi fraud ini baru dari berasal dari kelompok provider pelayanan kesehatan, belum dari aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan supplier alat kesehatan dan obat.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kesehatan Universitas Gadjah Mada juga melakukan pendekatan retrospektif untuk mendeteksi fraud. PKMK melakukan audit klinis menggunakan rekam medis. Rekam medis yang diaudit adalah penyakit dan tindakan yang high cost, high volume, ataupun problem prone yang terjadi di rumah sakit. Hasil self assessment pada tujuh rumah sakit pemerintah di pulau Jawa menunjukkan adanya potensi fraud dalam layanan kesehatan di Indonesia. Modus yang potensi penggunaannya hingga 100 persen adalah upcoding, yakni diagnosis atau prosedur pelayanan yang diklaim dibuat lebih kompleks dan lebih mahal daripada yang sebenarnya, sehingga nilai klaim menjadi lebih tinggi ketimbang yang seharusnya. Laporan self assessment ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengembangkan sistem anti-fraud yang lebih baik.
Lebih jauh dalam Hukum Administrasi Negara (HAN), menyatakan bahwa geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responslibility” yang dapat diartikan bahwa dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility).
Untuk dapat melihat bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan atau pejabat administrasi maka digunakan parameter atau standar penilaian sebagaimana yang diatur dalam UU dan AUPB. Terkhusus dalam penyelenggaraan BPJS maka tolak ukur dalam menilai suatu perbuatan penyelenggara jaminan sosial adalah UU BPJS, UU SJSN dan UU Administrasi Pemerintahan.
Pertanggungjawaban tersebut dapat berupa pertanggungjawaban secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (“melawan hukum” dan/atau “penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat kerugian pada keuangan Negara. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi Negara inilah yang mengilhami pertanggungjawaban pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor dalam hal kerugian keuangan negara.
Berikut kami sertakan cara mengukur suatu tindakan yang dikutip dari W. Konijnenbelt, yang menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
1.      Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
2.      Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.
Lebih lanjut Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “Freis Ermessen”, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
1.   Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2.   Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3.   Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Selanjutnya tindakan sewenang-wenang “abus de droit” yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Perbuatan inilah yang sering disebut sebagai perbuatan melawan hukum.
Sebagaimana telah diuraikan diatas terkait tata kelola penyelenggaraan jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, maka UU tersebut dapat dijadikan standar untuk mengukur suatu tindakan dalam penyelenggaraan jaminan sosial terindikasi penyalahgunaan kewenangan, perbuatan melawan hukum, perbuatan sewenang-wenang maupun perbuatan yang berimplikasi sebagai tindak pidana korupsi. 
Sejalan dengan pendapat “tiada suatu wewenang tanpa pertanggungjawaban” dan sejumlah wewenang dalam penyelenggaraan jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS baik berupa perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan dana yang masuk dalam BPJS, maka dapat disimpulkan bahwa setiap pelaksanaan kewenangan tersebut dalam penyelenggaraan jaminan sosial dimungkinkan terjadi suatu perbuatan yang terindikasi korupsi, baik berupa perbuatan curang, penipuan, penggelapan, pilih kasih dan pemerasan yang kesemua perbuatan tersebut telah dirumuskan dalam pasal 2 sampai dengan pasal 12 UU Tipikor.
Kriminologi (ilmu yang mempelajari suatu kejahatan) melihat potensi penyalahgunaan dan/atau perbuatan melawan hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial nasional disebabkan motif mencari keuntungan pribadi. Motif mencari keuntungan pribadi inilah yang menyebabkan individu atau kelompok tertentu melakukan perbuatan menyimpang. Hal tersebut dapat diklasifikasi beberapa faktor yang dilakukan oleh beberapa pihak, antara lain :
a.       Peserta BPJS
Adapun hal yang menyebabkan peserta BPJS melakukan perbuatan yang menyimpang disebabkan :
·         Prosedur administrasi yang ribet
Prosedur administrasi yang ribet menyebabkan masyarakat mencari jalan praktis atau mudah dalam melakukan registrasi sebagai peserta BPJS sehingga melakukan tindakan yang menyimpang seperti menyuap pihak tertentu agar memperlancar proses registrasi. Hal inilah yang dimanfaatkan beberapa pihak tertentu untuk mencari keuntungan pribadi dengan memberikan rayuan mempermudah proses administrasi dalam registrasi peserta BPJS.
·         Menghindari biaya angsuran yang tinggi
Masyarakat yang memiliki kemampuan financial yang cukup cenderung melakukan penghindaran biaya angsuran yang tinggi sebagai peserta BPJS. Tindakan ini memicu Peserta BPJS melakukan mark up atau pemalsuan perihal pendapatan pribadinya demi mendapatkan biaya angsuran yang rendah.
·         Rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan
Rendahya pemahaman masyarakat akan kesehatan menyebabkan masyarakat kurang memperhatikan kesehatan pribadi. Hal ini juga menyebabkan masyarakat kurang memahami kondisi kesehatan yang bagaimana yang memerlukan tindakan lanjut dan yang tidak. Rendahnya kesadaran ini juga menyebabkan banyak  pemberi layanan kesehatan seperti rumah sakit yang memanfaatkannya dengan salah diagnose atau  tindakan medis yang tidak perlu.
b.      Penyedia layanan kesehatan
Adapun faktor yang menyebabkan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan, antara lain :
·         Kurang memahami Etika Profesi sebagai Public Service
Selaku pelayan masyarakat dibidang kesehatan para penyedia layanan masyarakat seharusnya memahami dan menjunjung tinggi etika profesinya. Sikap etik yang buruk cenderung membawa dampak seseorang untuk melakukan tindakan yang menyimpang seperti melakukan tindakan medis yang tidak perlu bagi seorang pasien guna memperbanyak layanan atau memasarkan suatu produk layanan kesehatan.
·         Mencari keuntungan yang besar
Penyedia layanan kesehatan seperti Klinik, Rumah Sakit cenderung mengejar keuntungan yang maksimal dalam kegiatan pemberian jasa layanan kesehatan. Tindakan ini memicu adanya tindakan pemberian keterangan palsu, mark up dokumen klaim atau perbuatan lain yang tidak dibenarkan secara etika maupun hukum guna mendapatkan kkucuran dana BPJS yang maksimal.
c.       Pejabat BPJS
Faktor yang menyebabkan adanya penyimpangan yang dilakukan pejabat BPJS adalah :
·         Rendahnya integritas
Buruknya prilaku moral ataupun integritas pejabat yang menyelenggarakan jaminan social membawa dampak yang negative dalam penyelenggaraan. Hal ini membawa dampak dalam proses identifikasi, deteksi dini maupun penindakan bentuk perbuatan menyimpang dalam penyelenggaraan BPJS. Sepeti apabila ditemukan pemalsuan data klaim oleh penyedia layanan kesehatan karena buruknya integritas pejabat BPJS mungkin membiarkan hal tersebut terjadi bahkan ikut serta melindungi dikarenakan adanya suap atau hadiah yang diberikan kepadanya ataupun memeras pihak yang melakukan pelanggaran tersebut.
·         Kurang bersinergi dengan lembaga Negara lain
Kurangnya hubungan antar lembaga menjadi factor menyebabkan tidak terselenggara dengan baik layanan jaminan social, dimana dalam melakukan penyelenggaraan diperlukan tindakan maksimal antar lemabaga terkait dalam menyikapi kebijakan yang akan diterapkan oleh pejabat BPJS.
·         Kurang efektif sosialisasi kebijakan kepada masyarakat
Kurang efektifnya sosialisasi atas suatu kebijakan membawa dampak buruk yang menyebabkan pihak tertentu melakukan tindakan menyimpang. Dimana hal ini dimanfaatkan dalam mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu dalam penerapan suatu kebijakan.
d.      Pemerintah
Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan yang disebabkan pemerintah adalah :
·         Kurangnnya pemahaman akan fungsi dan peranan jabatan
Sikap ini cenderung membawa dampak buruk bagi penyelenggaraan jaminan sosial, dimana apabila pemerintah paham akan peranan dan fungsi akan jabatannya maka akan membuat suatu kebijaksanaan dalam penyelenggaraan kebijakan penyelenggaraan jaminan sosial.
·         Kurangmya perhatian akan efektifitas suatu kebijakan
Kurangnya kepedulian pemerintah atas efektifitas kebijakan yang dibuat membawa dampak  buruk dimana adanya pihak tertentu yang mencari keuntungan dalam kebijakan tersebut. Sebagai contoh dalam pembelian obat yang digunakan dalam layanan jaminan sosial pemerintah melakukan system pengadaan obat-obatan dan/atau alat kesehatan menunjuk pihak yang tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan pengadaan.
Faktor tersebutlah yang menyebabkan terjadinya perbuatan yang menyimpang terjadi dalam penyelenggaraan jaminan sosial, bahkan menjadi suatu hal yang sistematis, terorganisir, terstruktur dan massif. Hal inilah menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi pembuat kebijakan dikarenakan faktor inilah yang membuat banyaknya tindakan korupsi, seperti kecurangan, penyuapan, penggelapan, penyalahgunaan wewenang dan pilih kasih dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Dapat digambarkan tindakan menyimpang yang dilakukan dalam penyelenggaraan jaminan sosial seperti :
1)     Peserta BPJS memberikan suap atau hadiah kepada Pejabat registerasi BPJS agar mempermudah proses registerasi;
2)     Peserta BPJS meminta pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan, hal ini bisa memicu tindakan suap atau pemerasan;
3)     Pejabat BPJS melakukan tindakan pilih kasih maupun nepotisme dalam registrasi peserta BPJS;
4)     Penjabat registerasi BPJS melakukan pemerasan  kepada peserta BPJS dalam proses registrasi;
5)     Seorang Dokter memberikan pelayanan tidak perlu demi memasarkan produk kesehatan tertentu;
6)     Seorang Dokter memberikan layanan kesehatan yang berlebih demi mencari keuntungan dari klaim layanan kesehatan BPJS;
7)     Rumah Sakit, Klinik melakukan mark up dokumen klaim dana BPJS;
8)     Dalam hal penindakan kecurangan, pejabat penindak menerima suap atau gratifikasi agar tidak memproses kecurangan;
9)     Pejabat penindakan kecurangan melakukan pemerasan kepada pelaku kecurangan;
10)Pejabat BPJS melakukan kerjasama dengan pelayan kesehatan melakukan kecurangan dalam kaitan klaim dana BPJS;
11)Dalam pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan yang digunakan dalam layanan BPJS terjadi penyimpangan prosedur sesuai dengan Peraturan Presidem No. 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;
Maka dapat disimpulkan jika melihat kegiatan-kegiatan BPJS seperti perencanaan berupa pengumpulan data-data peserta BPJS, pengelolaan keuangan berupa investasi dana yang dihimpun dari masyarakat maupun uang Negara yang dimasukkan dan pemanfaatan keuangan berupa penyaluran dana BPJS bagi peserta BPJS rentan terjadi tindakan curang, pemerasan, penggelapan dan pilih kasih yang mana terumuskan dalam pasal 2 sampai dengan pasal 12 UU Tipikor baik tindakan yang bersifat menyalahgunakan wewenang dan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian Negara, penyuapan, pemerasan, gratifikasi, nepotisme dan mencampuradukkan kepentingan.
Dalam Permenkes No. 36 Tahun 2015 diatur lebih lanjut mengenai beberapa tindakan yang dikategorikan sebagai bentuk kecurangan antara lain :
Pasal 2
Kecurangan JKN dapat dilakukan oleh:
a.       peserta;
b.      petugas BPJS Kesehatan;
c.       pemberi pelayanan kesehatan; dan/atau
d.      penyedia obat dan alat kesehatan.
Pasal 3
Tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan oleh peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, meliputi:
a.       membuat pernyataan yang tidak benar dalam hal eligibilitas (memalsukan status kepesertaan) untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
b.      memanfaatkan haknya untuk pelayanan yang tidak perlu (unneccesary services) dengan cara memalsukan kondisi kesehatan;
c.       memberikan gratifikasi kepada  pemberi pelayanan agar bersedia memberi pelayanan yang tidak sesuai/tidak ditanggung;
d.      memanipulasi penghasilan agar tidak perlu membayar iuran terlalu besar;
e.       melakukan kerjasama dengan pemberi pelayanan untuk mengajukan Klaim palsu;
f.        memperoleh obat dan/atau alat kesehatan yang diresepkan untuk dijual kembali; dan/atau
g.       melakukan tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf f.
Pasal 4
Tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, meliputi:
a.       melakukan kerjasama dengan peserta dan/atau fasilitas kesehatan untuk mengajukan Klaim yang palsu;
b.      memanipulasi manfaat yang seharusnya tidak dijamin agar dapat dijamin;
c.       menahan pembayaran ke fasilitas kesehatan/rekanan dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi;
d.      membayarkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan; dan/atau
e.       melakukan tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf d.
Pasal 5
(1)  Tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan di :
a.       FKTP; dan
b.      FKRTL.
(2)  Tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan pemberi pelayanan  kesehatan  di  FKTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a.       memanfaatkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.      memanipulasi Klaim pada pelayanan yang dibayar secara nonkapitasi;
c.       menerima komisi atas rujukan ke FKRTL;
d.      menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam biaya kapitasi dan/atau nonkapitasi sesuai dengan standar tarif yang ditetapkan;
e.       melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan tertentu; dan/atau
f.        tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf e.
(3)  Tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan pemberi pelayanan kesehatan di FKRTL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a.       penulisan kode diagnosis yang berlebihan/upcoding;
b.      penjiplakan klaim dari pasien lain/cloning;
c.       klaim palsu/phantom billing;
d.      penggelembungan tagihan obat dan alkes/inflated bills;
e.       pemecahan episode pelayanan/services unbundling or fragmentation;
f.        rujukan semu/selfs-referals;
g.       tagihan berulang/repeat billing;
h.      memperpanjang lama perawatan/prolonged length of stay;
i.         memanipulasi kelas perawatan/type of room charge;
j.         membatalkan tindakan yang wajib dilakukan/cancelled services;
k.       melakukan tindakan yang tidak perlu/no medical value;
l.         penyimpangan terhadap standar pelayanan/standard of care;
m.    melakukan tindakan pengobatan yang tidak perlu/unnecessary treatment;
n.      menambah panjang waktu penggunaan ventilator;
o.      tidak melakukan visitasi yang seharusnya/phantom visit;
p.      tidak melakukan prosedur yang seharusnya/phantom procedures;
q.      admisi yang berulang/readmisi;
r.       melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan tertentu;
s.       meminta cost sharing tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
t.        tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf s.
(4)  Penulisan kode diagnosis yang berlebihan/upcoding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan pengubahan kode diagnosis dan/atau prosedur menjadi kode yang memiliki tarif yang lebih tinggi dari yang seharusnya.
(5)  Penjiplakan Klaim dari pasien lain/cloning sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Klaim yang dibuat dengan cara menyalin dari Klaim pasien lain yang sudah ada.
(6)  Klaim palsu/phantom billing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan Klaim atas layanan yang tidak pernah diberikan.
(7)  Penggelembungan tagihan obat dan alkes/inflated bills sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d merupakan Klaim atas biaya obat dan/atau alat kesehatan yang lebih besar dari biaya yang sebenarnya.
(8)  Pemecahan episode pelayanan/services unbundling or fragmentation sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e merupakan Klaim atas  dua atau lebih diagnosis dan/atau prosedur yang seharusnya menjadi satu paket pelayanan dalam Episode yang sama atau menagihkan beberapa prosedur secara terpisah yang seharusnya dapat ditagihkan bersama dalam bentuk paket pelayanan, untuk mendapatkan nilai Klaim lebih besar pada satu Episode perawatan pasien.
(9)  Rujukan semu/selfs-referals sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f merupakan Klaim atas biaya pelayanan akibat rujukan ke dokter yang sama di fasilitas kesehatan lain kecuali dengan alasan fasilitas.
(10)   Tagihan berulang/repeat billing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g merupakan Klaim yang diulang pada kasus yang sama.
(11)   Memperpanjang lama perawatan/prolonged length of stay sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) huruf h merupakan Klaim atas biaya pelayanan kesehatan yang lebih besar akibat perubahan lama hari perawatan inap.
(12)   Memanipulasi kelas perawatan/type of room charge sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i merupakan Klaim atas biaya pelayanan kesehatan yang lebih besar dari biaya kelas perawatan yang sebenarnya.
(13)   Membatalkan tindakan yang wajib dilakukan/cancelled services sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j merupakan Klaim atas diagnosis dan/atau tindakan yang tidak jadi dilaksanakan.
(14)   Melakukan tindakan yang tidak perlu/no medical value sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf k merupakan Klaim atas tindakan yang tidak berdasarkan kebutuhan atau indikasi medis.
(15)   Penyimpangan terhadap standar pelayanan/standard of care sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf l merupakan Klaim atas diagnosis dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
(16)   Melakukan tindakan pengobatan yang tidak perlu/unnecessary treatment sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf m merupakan Klaim atas tindakan yang tidak diperlukan.
(17)   Menambah panjang waktu penggunaan ventilator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf n merupakan Klaim yang lebih besar akibat penambahan lama penggunaan ventilator yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
(18)   Tidak melakukan visitasi yang seharusnya/phantom visit sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) huruf o merupakan Klaim atas kunjungan pasien palsu.
(19)   Tidak melakukan prosedur yang seharusnya/phantom procedures sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf p merupakan Klaim atas tindakan yang tidak pernah dilakukan.
(20)   Admisi yang berulang/readmisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf q merupakan Klaim atas diagnosis dan/atau tindakan dari satu Episode yang dirawat atau diklaim lebih dari satu kali seolah-olah lebih dari satu Episode.
Pasal 6
Tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan penyedia obat dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:
a.       tidak memenuhi kebutuhan obat dan/atau alat kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.      melakukan kerjasama dengan pihak lain mengubah obat dan/atau alat kesehatan yang tercantum dalam e-catalog dengan harga tidak sesuai dengan e-catalog; dan
c.       melakukan tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a dan huruf b.
Perbuatan kecurangan maupun perbuatan yang melawan hukum berimplikasi kepada adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak tertentu. Dimana dalam tindak pidana korupsi dilakukan secara sistematis, terorganisir, terstruktur dan massif. Oleh karenanya sebagaimana teori sebab akibat secara kriminologi dapat dilihat sebagai berikut : orang yang melakukan suatu tindakan kecurangan akan berusaha menutupi perbuatan tersebut dengan berbagai upaya termasuk suap dan gratifikasi.
Untuk melihat indikasi tindak pidana korupsi, sebelumnya akan kita pahami yang dimaksud tindak pidana korupsi menurut para ahli :
a.      Pendapat Ahli
Beberapa Ahli Hukum merumuskan yang dimaksud tindak pidana korupsi, antara lain :
·         Henry Campbell Black
“an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of other”
Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak resmi dengan menggunakan hak-hak dari pihak lain, yang secara salah dalam menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
·         Juniadi Suwartojo
Tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehing langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.
·         Philip
Tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang yang tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi seperti keluarga koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor.
·         Jeremy Pope
Penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuuk kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak (keeping disatance).
·         Mohtar Mas’oed
Perilaku yang menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga dekat atau klik.
·         Alfiler
Suatu perilaku yang dirancang yang sesungguhnya merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang diharapkan yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan imbalan material atau penghargaan lainnya.
·         Prof. Subekti
Suatu tindakan perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekenomian negara.
·         Jacob Van Klaveren
Suatu hal apabila seorang abdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaanya diusahakan pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
Berdasarkan Pendapat Ahli Hukum diatas dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana Korupsi mempunyai beberapa bentuk, yaitu:
1)     Penyuapan (bribery)
Sebuah perilaku memberi dan menerima suap, baik itu berupa uang ataupun barang.
2)     Penggelapan (Embezzlement)
Perbuatan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
3)      Penipuan atau kecurangan (Fraud)
Perbuatan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan. Yang didalamnya termasuk manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
4)      Pemerasan (Extortion)
Perbuatan meminta uang atau sumber daya lainnya secara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Yang dilakukan oleh mafia lokal dan regional.
5)     Pilih Kasih (Favouritism)
Mekanisme kekuasaan yang disalah gunakan yang berimplikasi kepada tindakan privatisasi sumber daya, melanggar hukum yang ada dan merugikan negara. Yang sifatnya serba kerahasiaan, walaupun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
Melihat dari apa yang disampaikan diatas maka indikasi tindak pidana korupsi akan cenderung dilakukan dalam tindakan kecurangan dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan.
IV.          Aturan Perundang-Undangan untuk penanggulangan error (mismatch), fraud, Korupsi dan Gratifikasi
1.   UU BPJS
Pasal 54
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Refer to Pasal 52
Anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi dilarang:
a.       memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga antar anggota Dewan Pengawas, antar anggota Direksi, dan antara anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi;
b.      memiliki bisnis yang mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan Sosial;
c.       melakukan perbuatan tercela;
d.      merangkap jabatan sebagai anggota partai politik, pengurus organisasi masyarakat atau organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan program Jaminan Sosial, pejabat struktural dan fungsional pada lembaga pemerintahan, pejabat di badan usaha dan badan hukum lainnya;
e.       membuat atau mengambil keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan;
f.        mendirikan atau memiliki seluruh atau sebagian badan usaha yang terkait dengan program Jaminan Sosial;
g.       menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
h.      menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
i.         melakukan subsidi silang antarprogram;
j.         menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;
k.       menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial;
l.         membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau
m.    mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial.
Pasal 55
Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Refer to Pasal 19
(1)  Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.
(2)  Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.

Lengkap terkait Pidana Korupsi : 

2.   Permenkes 36 Tahun 2015
Pasal 28
(1)  Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan sanksi administratif bagi fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan.
(2)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.       teguran lisan;
b.      teguran tertulis; dan/atau
c.       perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak yang dirugikan.
(3)  Dalam hal tindakan Kecurangan JKN dilakukan oleh pemberi pelayanan atau penyedia obat dan alat kesehatan, sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditambah dengan denda paling banyak sebesar 50% dari jumlah pengembalian kerugian akibat tindakan Kecurangan JKN.
(4)  Dalam hal tindakan Kecurangan JKN dilakukan oleh tenaga kesehatan, sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diikuti  dengan pencabutan surat izin praktik.
(5)  Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1)  Dalam hal tindakan Kecurangan JKN  dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi kepada BPJS untuk memberikan sanksi administratif kepada petugas BPJS Kesehatan yang melakukan Kecurangan JKN.
(2)  Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.       teguran lisan;
b.      teguran tertulis;
c.       pemberhentian dari jabatan;
d.      pemecatan; dan/atau
e.       perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak yang dirugikan
3.   UU Tipikor
UU Tipikor tidak mengatur secara jelas terminologi suatu perbuatan yang dimaksud sebagai tindak pidana korupsi. Namun, dalam UU Tipikor merumuskan 7 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi ke dalam 12 pasal, antara lain :
1.     Kerugian keuangan negara
UU No. 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur "dapat merugikan keuangan negara" seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam  penjelasan 2 ayat (1) UU No. 31/1999 yang menyatakan kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Dalam UU Tipikor, perbuatan yang menimbulkan kerugian Negara diatur dalam pasal 2 (melawan hukum) dan pasal 3 (menyalahgunakan wewenang). Namun terjadi perkembangan dalam pemberlakuan pasal ini dimana melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan kata “dapat merugikan keuangan Negara” dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD dan tidak mengikat. Sehingga dalam tindak pidana korupsi haruslah harus secara nyata (in concreto) terjadi kerugian keuangan negara.
2.     Suap-Menyuap
Untuk mengetahui pengertian suap- menyuap dapat kita lihat dalam rumusan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap :
Pasal 2 
"memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"
Pasal 3 
"menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"
Dalam UU Tipikor dirumuskan perbuatan suap antara lain : menyuap pegawai negeri (pasal 5 ayat 1 huruf a dan b), memberi hadiah kepada pegawai karena jabatannya (pasal 13), pegawai negeri menerima suap (pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a dan b), pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya (pasal 11), menyuap hakim (pasal 6 ayat 1 huruf a), menyuap advokat (pasal 6 ayat 1 huruf b), hakim dan advokat menerima suap (pasal 6 ayat 2), hakim menerima suap (pasal 12 huruf c) dan advokat menerima suap (pasal 12 huruf d).
3.     Penggelapan dalam jabatan
Penggelapan dalam jabatan sebagaimana dimaksud dari rumusan pasal- pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 merujuk kepada Penggelapan dengan Pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
Perbuatan yang dikategorikan sebagai penggelapan dalam jabatan dalam UU Tipikor, antara lain : Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan (pasal 8), Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (pasal 9), Pegawai negeri merusak bukti (pasal 10 huruf a), Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti (pasal 10 huruf b) dan  Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti (pasal 10 huruf c).
4.     Pemerasan
Berdasarkan pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 pemerasan adalah tindakan/ perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Bentuk perbuatan pemerasan ini dalam UU Tipikor dirumuskan sebagai berikut : Pegawai negeri memeras (pasal 12 huruf e dan g) dan Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain (pasal 12 huruf f).
5.     Perbuatan curang
Untuk memahami unsur perbuatan curang dalam tindak pidana korupsi, mari kita lihat tumusan pasal 7 dan pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf a samai dengan huruf d
a.       Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangungan yang pada waktu menyerahkan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang;
b.       Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.       Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d.      Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Pasal 7 ayat (2)
"Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)"
Pasal 12 huruf h :
"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan"
6.     Benturan kepentingan dalam pengadaan
Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah situasi di mana seorang PN yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. Faktor Penyebab Konflik Kepentingan, antara lain : kekuasaan dan kewenangan pegawai negeri, perangkapan jabatan, hubungan afiliasi, gratifikasi, kelemahan sistem organisasi, kepentingan pribadi.
Perbuatan ini dirumuskan sebagai berikut : Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya (pasal 12 huruf i).
7.     Gratifikasi
Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:
(1)  Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan:
a.       Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.      Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Pasal 12 B ini dikecualikan apabila ketentuan pasal 12 C dilaksanakan yaitu :
(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3)Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4)Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
V.          Kesimpulan dan Saran
1)    Kesimpulan
Defisitnya BPJS Kesehatan bukan semata-mata disebabkan oleh adanya tindakan kecurangan namun karena penerapan kebijakan yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UU SJSN. Dimana penyelenggaraan jaminan social hanya sebatas kepada tindakan kuratif;
Kurang bersinerginya BPJS dengan lembaga lain dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan bersinergi dengan lembaga lain diharapkan BPJS mampu melaksanakan jaminan social yang memberi dampak positif;
Terjadinya tindakan yang  mengakibatkan kerugian Negara dalam penyelenggaraan jaminan social disebabkan kurang awareness atau kepedulian instansi terkait untuk melakukan pembimbingan, pengawasan maupun penindakan apabila terjaid pelanggaran terlebih mengakibatkan kerugian keuangan Negara;
2)    Saran
beberapa kebijakan yang dapat diterapkan oleh BPJS dalam menangani permasalahan defisit pengelolaan dana BPJS, antara lain :
  • BPJS konsisten menggunakan paradigma sehat dalam menyusun prioritas anggaran kesehatan. Kenaikan anggaran pengelolaan dana BPJS tiap tahun harus selalu meningkatkan presentase anggaran untuk promotif dan preventif, bukan kuratif.
  • BPJS mempertajam Stranas PPK (Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) sehingga aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat menyentuh jantung korupsi di semua aspek kegiatan penyelenggaraan jaminan sosial baik berupa perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan.
  • Adanya kebijakan nasional pencegahan korupsi kesehatan yang menyasar pencegahan korupsi pengadaan barang dan jasa serta fraud dalam pelayanan kesehatan.
  • Perlu adanya kebijakan open contracting yakni membuka semua dokumen pengadaan (KAK, HPS, Spesifikasi Teknis, Kontrak, dan Berita Acara Serah Terima Barang) pada publik.

DAFTAR PUSTAKA
1.     Buku (Litelature)
Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar, Jakarta, Pradnya Paramita, 1995.
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasan, Jakarta, Rajawali Pers, 2012.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Min, West Publishing Co.
Philipus M Hadjon, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Paper, disampaikan pada Seminar Nasional “Aspek Pertanggung jawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Konsep”, Semarang, 2004.
Phillipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Jakarta, 1997.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, 1968.
Shahriari, Institutional Issues in Informal Health Payments in Poland, Wahington DC, 2001.
2.     Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang RI No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap;
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya dirubah menjadi Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi;
Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
Permenkes No. 36 Tahun 2015 Tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional;
3.     Internet

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peraturan Pemerintah Terkait Pertanahan

Keputusan Menteri No. 78 Tahun 2001 Tentang Pesangon

Memilih Menggunakan UMP atau UMK